Cerita Linda, Guru SM-3T Sumba Timur

Setelah lulus menjadi sarjana, Linda Agustin Wahyuningtyas membuat keputusan yang berani. Dia mengikuti program Sarjana Mengajar di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM3T). Pengalaman Linda Agustin Wahyuningtyas Mengajar di Kananggar, Paberiwai, S

LINDA Agustin Wahyuningtyas, 25, merupakan warga asal Mangkujayan, Ponorogo. Selama setahun, dia tinggal di Paberiwai, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT). ”Di sana, guru dipanggil bapak atau ibu,’’ ujar Linda.

Dia bisa berada di NTT karena menjadi salah seorang peserta program Sarjana Mengajar di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM3T). Kebetulan, Linda ditempatkan di Sumba Timur, kabupaten dengan topografi penuh bukit, di ujung timur Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Dia mengikuti program tersebut selama setahun, yaitu mulai 18 Agustus 2015 hingga 6 Agustus 2016. Di sana, dia ditugaskan untuk mengajar di SDN Laihobu, Desa Kananggar. Jumlah siswanya mencapai 100 anak. Sementara itu, guru yang mengajar hanya tiga orang.

Di sekolah tersebut, Linda mengajar pendidikan jasmani (penjas) sesuai dengan pendidikan yang ditempuh di Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Surabaya. ”Sesuai SK, saya memang seharusnya mengajar penjas. Tapi, praktik di lapangan, saya juga mengajar pelajaran umum di luar jam,’’ ungkapnya.

KBERSAMAAN: Linda (tiga dari kanan) saat bersama siswa SDN Laihobu di Salah satu bukit di Kangagar, Paberiwai, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur
Di sekolah itu, Linda mengajar bersama seorang peserta SM3T lain. Semangat anak-anak Paberiwai dalam menuntut ilmu layak diacungi jempol.

Jarak dari rumah ke sekolah ditempuh siswa dengan waktu rata-rata satu jam dengan berjalan kaki. Anak-anak Kananggar tidak mengenakan sepatu ke sekolah. Mereka juga tidak membawa tas. Sebagai gantinya, mereka menggunakan kantong plastik sebagai wadah buku dan peralatan sekolah.

”Karena berangkat ke sekolah berjalan kaki, mereka kelelahan begitu sampai di sekolah. Namun, mereka tetap semangat mengikuti pelajaran,’’ katanya.

Menurut Linda, anak-anak Kananggar menguasai pelajaran penjas. Anakanak begitu antusias bila Linda mengajarkan sepak bola. Tidak sedikit yang tampak berbakat dalam mengolah si kulit bundar tersebut.

Pelajaran baca tulis hitung (calistung) berbanding terbalik dengan penjas. Tidak ada anak-anak kelas I SD yang bisa calistung.

Menurut dia, salah satu faktor penyebabnya adalah tidak adanya TK di Kananggar. ”Dalam pelajaran penjas, siswa dituntut aktif. Sementara itu, meski anak-anak Kananggar ini tidak mengikuti penjas, mereka sudah aktif,’’ terang Linda.

Selain air, listrik menjadi kendala tersendiri. Kebutuhan listrik dipenuhi melalui genset yang dioperasikan pukul 18.00–06.00. Namun, genset biasanya mati pukul 24.00.

Kesehatan juga menjadi barang yang mahal di Kananggar. Banyak kasus malaria yang terjadi di daerah tersebut. Demi menjaga agar tidak terjangkit, Linda kerap memakan daun pepaya.

Meski pahit, dia tidak peduli. Yang penting, dia tidak sakit, apalagi terjangkit malaria. Terlebih, peserta SM3T angkatan Linda tidak mendapat fasilitas asuransi kesehatan.

Namun, berbagai persoalan itu justru tidak menyurutkan semangat meng ajarnya hingga akhir masa pengabdian. Bahkan, Linda mengaku antusias bila harus kembali ke Kananggar. ”Alam yang indah, penduduk yang ramah, terutama siswanya, semuanya sukses membuat rindu,” ungkapnya. 

*jawapos/irw/c5/diq

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungannya di Blog Pak Pandani | Belajar dan Berbagi. Jika ada pertanyaan, saran, dan komentar silahkan tuliskan pada kotak komentar dibawah ini....

Salam Pak Pandani

Lebih baru Lebih lama