Perjuangan Bu Ade, Guru Honorer di Pelosok Sukabumi


Jalanan terjal dan berlumpur selalu menjadi lintasan Ade Irma setiap paginya. Sudah 11 tahun, perempuan 30 tahun ini mengabdikan diri sebagai guru honorer di SD Sukasari, Kampung Cilampahan, Tegal Buleud, Sukabumi, Jawa Barat.

Sempat 4 tahun ia menetap di kampung Cilampahan, namun pindah karena ikuti suami. Tapi, ia tetap memilih untuk mengajar meski harus pulang pergi 12 kilo meter setiap hari. Baginya jarak bukan halangan.

Bentang alam yang berkelok dan dipenuhi semak belukar menjadi tantangan para guru setiap hari. Jika hujan mereka harus memutar haluan untuk mencari jalan lain atau kembali pulang dan tidak mengajar. Miris!

“Kadang-kadang kan kalo motor matic lupa rem depan dipudunan lagi itunya, jatuhnya. Licinnya waktu kemarau sama hujan kan beda. Waktu kemarau banyak tanah-tanah yang ngerosot. Itu saya rem depan. Yaudah terbalik motor. Untungnya ada yang bantuin,” kata Ade Irma.

Sebagai lulusan sarjana Pendidikan Guru Sekolah Dasar Ia pernah dua kali ikut tes calon pegawai negeri tapi selalu gagal. Tapi Ade tidak menyerah. Sabar menjadi kunci bagi guru yang mengajar di kelas tiga ini.

Honor yang diterimanya hanya 300 ribu rupiah setiap bulan. Dulu, ia masih mendapatkan tunjangan guru daerah terpencil karena gelar sarjana yang disandang. Namun, sejak Sukabumi melepaskan status sebagai daerah terpencil pada Januari 2016 lalu, tunjangan itu pun hilang.


Kurangnya pembangunan di Kampung Cilampahan berimbas pada kulitas pendidikan. Tidak banyak guru yang bersedia ditempatkan di kampung yang memiliki waktu tempuh 4 jam dari pusat Kabupaten Sukabumi ini.

Tapi beda dengan Ade. Rasa sayangnya pada anak-anak Kampung Cilampahan yang membuatnya tetap bertahan. Ade tidak hanya mengajar, tetapi juga menyiapkan berbagai kebutuhan pendukung kegiatan belajar. Dananya dari Bantuan Operasional Sekolah (BOS).

Sebulan sekali ia harus menempuh perjalanan panjang ke pusat kota untuk belanja buku, pensil, bolpoin hingga penghapus. Pernak-pernik ini bagi sebagian orang gampang ditemukan. Tapi berbeda dengan kondisi di Kampung Cilampahan.




Mayoritas masyarakat di kampung ini bekerja di perkebunan karet milik sebuah perusahaan. Banyak pula yang memilih berprofesi sebagai petani dan pembuat gula merah. Pendapatan mereka mencapai Rp 1 juta sampai Rp 2 juta per bulan.

Jumlah ini dinilai sangat mencukupi bagi mereka. Meskipun demikian, ada hal itu menjadi kecemasan bagi Ade yaitu pendidikan belum menjadi prioritas utama warga desa. Wajar saja, karena melihat kondisi lingkungan yang masih serba terbatas.

Status sebagai guru honorer tak membuat mereka berkecil hati. Mereka ingin terus menjadi guru luar biasa demi masa depan anak-anak. Bukan hanya guru yang mengejar status dan pangkat semata.

Sumber: https://netz.id/news/2017/01/06/00316/1010050117/perjuangan-bu-ade-guru-honorer-di-pelosok-sukabumi

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungannya di Blog Pak Pandani | Belajar dan Berbagi. Jika ada pertanyaan, saran, dan komentar silahkan tuliskan pada kotak komentar dibawah ini....

Salam Pak Pandani

Lebih baru Lebih lama