Inilah 7 Kisah Pilu Pengabdian Guru di Pedalaman Indonesia yang Bikin Anda Terharu

Beberapa tahun belakangan ini, pemerintah dan lembaga peduli pendidikan sedang benar-benar menggalakkan pemerataan guru di seluruh pelosok negeri. Dan hal itu diwujudkan dalam sejumlah program pengiriman guru-guru muda di pedalaman tanah air. Tidak semua orang bisa lolos dan berangkat, sebelumnya mereka harus mengikuti seleksi ketat dengan tahapan yang cukup berat. Ujian mental dengan ditunjukkan kondisi nyata daerah penempatan lewat penayangan foto dan video. Beberapa calon guru yang gentar memilih mundur, dan hanya mereka yang berani terus bergerak menerjang kesunyian pedalaman Indonesia.

Meninggalkan hingar bingar kota dengan keterlimpahan fasilitas listrik, ketersediaan air, sinyal handphone, dan rumah gedongan yang nyaman adalah sedikit dari pengorbanan mereka. Banyak hal yang tak terduga pun masih menunggu, misalnya tantangan medan alam berat, budaya yang berbeda, dan penolakan warga harus siap mereka hadapi. Tak jarang, nyawapun harus terpaksa melayang demi cita-cita memberikan ilmu kepada anak-anak di pinggiran nusantara. Berikut ini adalah beberapa kisah memilukan yang harus dihadapi para guru muda.

Meninggal Terseret Arus Saat Menjalankan Tugas

Kejadian ini menimpa Winda Yulia dan Geuget Zaludiosanua Annafi, guru muda alumnus UPI yang mengajar di pedalaman Kabupaten Aceh Timur. Keduanya mengalami kecelakaan kapal boat dan terseret arus sungai Simpang Jernih saat pulang setelah menghadiri rapat di Kantor Dikpora Aceh Timur. Jasad Winda baru ditemukan empat hari setelah kejadian, sedangkan jenazah Geuget baru ditemukan pasca 11 hari kejadian.


Winda yang merupakan sosok cerdas dan termasuk mahasiswa berprestasi di kampus UPI memang sejak awal terpanggil untuk mengajar di pedalaman. Begitu juga dengan Geuget. Keduanya mengikuti program Sarjana Mendidik Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM-3T) yang diselenggarakan pemerintah. Atas jasanya menjadi pelita negeri, Kemendikbud memberikan penghargaan pendidikan untuk mengenang keduanya.

Menghadapi Medan Berat Penuh Tantangan

Di beberapa daerah Indonesia, untuk mendapat akses jalan yang aman tentu tidak mudah. Alhasil, menuju sekolah juga harus melewati berbagai drama yang awalnya dijalani dengan penuh ketakutan dan kekhawatiran. Berjalan di atas jembatan kayu renta puluhan meter di atas air dan berjalan menyusuri sungai yang cukup dalam adalah contohnya.


Seperti yang dialami Dwi Cahyawati, guru yang mengabdi lewat SM-3T kampus UPI ini yang mau tidak mau harus berpegang erat pada rekannya untuk melewati sungai selebar 10-15 meter. Hal ini terjadi di daerah pedalaman Nias Selatan. Tentu di dalam tasnya Dwi telah membawa baju lain untuk mengajar di kelas. Meski awalnya takut, mereka akhirnya terbiasa menghadapi situasi ini.

Terjebak di Daerah Konflik

Pada sekitar tahun 2011-2013, seorang guru wanita yang berasal dari salah satu universitas di Pulau Jawa dikirim mengabdi di daerah Papua. Sayangnya, selain menghadapi budaya yang berbeda, medan yang berat, ia juga berada di tengah daerah konflik. Konflik yang terjadi antara pihak pemerintah dan pihak yang ingin keluar dari pemerintahan membuat situasi mencekam setiap harinya. Namun demi tugas, ia tetap nekat mengajar di sekolah.


Suatu hari diceritakan bahwa sang guru bertemu dengan kawanan anti pemerintah yang berkeliling dengan senjata. Salah seorang di antaranya menghampiri si guru dan mengatakan untuk jangan takut pada mereka. Karena mereka tidak akan melukai guru yang sudah membuat anak-anak mereka pintar. Jadilah sang guru wanita tetap mengajar meski jauh di dalam hatinya masih terbersit rasa takut.

Terserang Penyakit Pedalaman yang Mematikan

Kondisi tubuh seseorang berbeda-beda. Karenanya, saat berada di pedalaman Indonesia dan tak pintar-pintar menjaga stamina, banyak penyakit yang akan menyerang. Dan untuk daerah papua, penyakit yang biasa menyerang adalah malaria. Sudah banyak guru-guru pengajar yang terjangkit penyakit endemik itu. Ada yang sampai meninggal, dan ada yang sembuh meski terkadang kambuh.


Salah satu guru bernama Andri yang mengajar tahun 2014-2015 di Papua harus dirawat selama 10 hari. Guru pendidikan ekonomi yang diutus melalui Universitas Negeri Malang itu pun menghabiskan puluhan infus selama pengobatan. Meski begitu, untungnya Andri berhasil selamat. Ada juga guru lain yang terpaksa harus dipulangkan ke Jawa karena kondisinya cukup parah. Selain malaria, demam berdarah juga menjadi satu ancaman para guru yang tinggal di pedalaman.

Mendapat Tekanan Penduduk Asli

Karena tidak setuju dengan diadakannya pramuka, sejumlah warga di Kampung di Sorong selatan mendatangi sekolah. Mereka tidak mau ada ritual lain (yang dimaksud Pramuka) di kampung mereka yang menyebabkan anak-anaknya kesurupan atau terkena penyakit setelah melanggar adat.


Lewat musyawarah yang panjang, pada akhirnya acara berhasil digelar. Ancaman dan protes seperti ini kerap terjadi, apalagi guru yang bertugas di daerah pedalaman memang membawa banyak hal baru bagi masyarakat.

Bertemu Beras dan Daging Setahun Sekali


Keberadaan nasi dan daging memang terkadang dianggap sepele. Hal ini tentu berbanding terbalik di kawasan pedalaman Indonesia. Nasi bak berlian yang keberadaannya amatlah langka. Terlebih daging, jangan mimpi memakan lauk ini jika berada di daerah seperti Pegunungan Bintang, Papua. Maklum daerah terdalam ini masih mengandalkan ubi, atau sagu.


Di daerah ini, untuk sekedar berbelanja saja harus menaiki pesawat menuju daerah serupa kecamatan di Jawa. Untuk bertelepon pun mengandalkan telepon satelit yang tarifnya amat mahal. Jajanan di daerah ini, untuk snack seharga 500 di Jawa, maka kamu harus membayar sekitar 5000 rupiah.

Melakukan Hal-Hal yang Tak Biasa Dilakukan


Karena kebanyakan pengajar di daerah terpencil adalah orang-orang yang hidup tanpa kekurangan listrik atau air, maka bisa jadi untuk pertama kalinya mereka merasakan sensasi tinggal di pedalaman. Mulai dari masak dengan alat tradisional, menimba air berkilo-kilo meter, dan mencari kayu di hutan.


Namun, yang seperti ini hanya masalah waktu saja. Asalkan yang paling kuat adalah tekad untuk mencetak anak-anak hebat, maka cobaan kecil tersebut takkan berarti banyak. Pada kenyataannya, para guru pedalaman yang bersungguh-sungguh mampu melewati itu semua.

Meski banyak kisah-kisah pilu yang diceritakan, tiap tahunnya masih banyak pemuda negeri ini yang antusias untuk mengajar di pedalaman. Mereka terus menuju yang terdepan, menggapai mereka yang terluar, dan menjangkau mimpi-mimpi yang tertinggal di belantara negeri. Bagaimana menurut pendapatmu tentang pemuda-pemudi seperti mereka ini?

Penulis: Aini Boom

Sumber: http://www.boombastis.com/kisah-pilu-guru-pedalaman/95223/amp

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungannya di Blog Pak Pandani | Belajar dan Berbagi. Jika ada pertanyaan, saran, dan komentar silahkan tuliskan pada kotak komentar dibawah ini....

Salam Pak Pandani

Lebih baru Lebih lama