Guru Tapal Batas, Saksi Toleransi di Tanah Sahabat


Atambua - Penerimaan terhadap perbedaan telah menjalin negara ini. Konsep minoritas-mayoritas bukan untuk dihilangkan, melainkan untuk diterima sebagai kenyataan. Di Tanah Sahabat, dua guru muda ini tak hanya mengajar, namun juga belajar soal penerimaan terhadap liyan.

Kamis, 30 Maret 2017, detikcom menempuh perjalanan sekitar 40 km dari Fulan Fehan ke ibu kota Kabupaten Belu, Atambua. Dari pinggir jalan, anak-anak sekolah menyapa kami, lengkap dengan senyum ramah.

Sesekali mereka tampak hilir mudik di jalan-jalan desa sampai di jalan besar perbatasan negara. Kadang yang menyapa adalah anak-anak kecil berseragam merah putih, ada pula yang berseragam putih abu-abu. "Selamat pagi," kata mereka kepada kami enam orang dari Jakarta.

Barangkali ini potret keramahan Belu. Kabupaten ini terletak di Nusa Tenggara Timur, yang berbatasan dengan Timor Leste. Secara bahasa, 'belu' dalam bahasa Tetun berarti 'sahabat'. Tanah ini didiami oleh empat suku utama, yakni Tetun, Bunak, Dawan, dan Kemak.

Di tengah perjalanan, di Lahurus, Kecamatan Lasiolat, kami bertemu dengan dua pemuda bukan dari Tetun, Bunak, Dawan, atau Kemak, melainkan Jawa. Mereka berada di tempat yang jauh dari kampung halamannya untuk mengajar. Mereka adalah guru di kawasan tapal batas ini.

Gilang Rickat Trengginas, yang berbaju biru, adalah sarjana Pendidikan Geografi Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) berumur 23 tahun. Di sebelahnya ada Dhani Kurniawan, yang berbaju putih, sarjana Pendidikan Sejarah UNY berumur 25 tahun.

Mereka adalah guru dari Sarjana Mendidik di Daerah Terluar (SM3T), program Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Mereka dan puluhan kawannya ada di berbagai pelosok yang terpisah-pisah di Indonesia untuk mengajar selama setahun.

"Selain ingin mencari pengalaman di daerah perbatasan, saya ingin melihat bagaimana kondisi pendidikan di perbatasan," kata Gilang di pinggir jalan, tak jauh dari tempat mereka tinggal.

Siang itu sebagian siswa-siswi telah melangkah pulang dari SMA Mgr Gabriel Manek SVD di Lahurus, Desa Fatulotu, Kecamatan Lasiolat. Sama halnya Gilang dan Dhani juga sudah selesai mengajar di sekolah itu. Di luar sedang hujan, kami berbincang di halaman salah satu rumah warga.

Dhani, pemuda asal Madiun, Jawa Timur, mengaku lahir dan besar di lingkungan Jawa. Saat terjun menjadi guru di Belu, Dani menghadapi realitas yang sama sekali baru. Begitu pula Gilang yang berasal dari Kebumen, Jawa Tengah.

"Perbedaan di sini cukup banyak juga," kata Dhani.

Sekilas, penampilan mereka dengan warga setempat sudah berbeda, agama yang dianut Dhani dan Gilang juga berbeda dengan yang dianut warga setempat, bahasa daerah juga jelas-jelas berbeda.

"Untung ada bahasa Indonesia. Kalau tidak, ya kita mau omong apa," kata Dhani sambil tersenyum.

Gilang dan Dhani tinggal indekos di rumah tetua adat Nai Lasiolat setempat. Penerimaan warga setempat membuat mereka tenang. Bahkan Gilang menyatakan sudah merasa menjadi satu dengan masyarakat.

"Masyarakat menerima pendatang dengan baik. Saya kalau di sini seperti merasa tinggal di daerah sendiri. Lama-kelamaan logat kami ikut seperti orang sini juga," kata Gilang.

Sebagai seorang muslim dari Jawa, awalnya Dhani sering berpikir bagaimana mungkin dirinya menjadi minoritas di negara ini. Kini dia merasakan sendiri.

"Kami bisa merasakan jadi minoritas di sini," kata Dhani.

Sepanjang yang mereka tahu, hanya mereka berdua saja orang beragama Islam di Lasiolat. Mayoritas di sini beragama Nasrani. Bukan berarti minoritas adalah kaum yang tergencet. Malahan di tanah ini, Dani dan Gilang merasa diperlakukan dengan baik.

"Kami diizinkan untuk pergi beribadah ke Atambua setiap hari Jumat. Justru malah orang-orang sini kadang mengingatkan, 'Mas Gilang, bukannya ini hari Jumat? Silakan turun ke Atambua,'" tutur Gilang.

Pihak sekolah mengosongkan jadwal mengajar Gilang dan Dhani setiap hari Jumat, mengakomodasi kegiatan salat Jumat. Untuk salat Jumat, mereka meluncur ke masjid di Atambua, sekitar 30 km dari sini.

Kebetulan hujan sudah reda. Mereka kemudian mengajak kami melihat sekolah, jaraknya sekitar 300 meter dari tempat kami duduk-duduk. Sambil berjalan, Gilang bercerita bahwa dirinya juga menghormati adat istiadat warga setempat. Bentuk pamali dan kepercayaan di sini tak akan dilanggarnya. Bila hendak melangkah ke tempat yang baru, dia akan meminta izin terlebih dahulu. Dia mengambil contoh soal bukit di seberang jalan. Bukit menjulang itu sekilas tampak biasa saja, dengan pepohonan dan rumput-rumput menghijau.

"Misalnya bukit itu, kita tidak boleh sembarangan naik ke atas karena kepercayaan di sini kental sekali. Kami pun kalau mau melakukan sesuatu juga harus ngobrol dulu sama orang sini, menghormati adat-istiadat juga," kata Gilang.

Aktivitas di Sekolah

Akhirnya kami sampai juga di sekolah. Masih ada siswa-siswi kelas III SMA yang menjalani kegiatan belajar. Suster Carolla PRR, yang merupakan Wakil Kepala Kurikulum Sekolah, ada di lokasi.

Carolla menyapa Gilang dan Dhani dengan ramah. Dia merasa dua guru muda ini memang mudah beradaptasi dengan kondisi di sini.

"Mereka gampang menyesuaikan diri dengan keadaan yang seperti ini," tutur Carolla sambil menjinjing buku.

Kata dia, Gilang dan Dani juga sesekali memimpin doa menurut Islam saat ada acara rapat atau pertemuan di sekolah, sebagaimana tradisi mereka yang juga sering bergantian dipimpin doa oleh orang beragama Katolik maupun Kristen. Bagi masyarakat sini, perbedaan adalah hal yang biasa saja, termasuk perbedaan agama dan budaya.

"Budaya itu tidak membuat kami saling jauh satu sama lain, tetapi sebenarnya memperkaya," kata Carolla.

Sekolah ini dilengkapi lapangan di tengahnya, cukup luas untuk memuat seratusan orang upacara bendera di sini. Lapangan ini sedang diuruk lumpur abu-abu basah yang luar biasa liat bila menempel di alas kaki, serupa dengan lumpur untuk membangun proyek jalan sabuk merah perbatasan di depan.

Suasana di dalam kelas berubah tenang saat Carolla memasuki kelas. Para siswi sudah siap menerima pelajaran. Belum ada siswa yang terlihat hadir di kelas.

Gilang dan Dani terlihat memeriksa hasil pekerjaan rumah murid-murid di sini, membantu Carolla barang sejenak saja.

Total siswa kelas III ada 54 orang, dan total murid di sekolah ini ada 143 orang. Pada dasarnya, murid-murid di sini mulai beraktivitas sejak pukul 07.00 Wita. Jam pelajaran berakhir pukul 12.45 Wita. Di luar itu, seperti murid kelas III ini, adalah jam tambahan.

Gilang mengajar mata pelajaran geografi untuk kelas I, dan pelajaran olahraga untuk kelas I, II, dan III SMA. Dhani mengajar sejarah untuk kelas I dan II serta pendidikan kewarganegaraan untuk kelas I SMA.

Sudah sejak tiga tahun lalu sekolah ini menerima guru dari program SM3T. Namun bukan berarti sudah tak ada tantangan lagi bagi Gilang dan Dhani mengajar di sini. Tantangan yang klasik di sini adalah soal fasilitas, bahkan fasilitas mendasar: buku.

"Soal fasilitas, tentu di sini berbeda dengan di Jawa. Buku cetak di sini agak sulit didapat. Saya mengajar sejarah tanpa buku cetak juga agak sulit," kata Dhani.

Ada pula karakter anak didik yang dirasa berbeda dengan anak-anak yang pernah ditemuinya di daerah asal. Gilang mengaku pernah disarankan oleh guru yang lebih berpengalaman agar lebih keras dalam mengajar murid-murid di sini, bahkan Gilang dipersilakan tak segan-segan untuk menggunakan tindakan fisik kepada murid supaya murid menuruti perintahnya. Namun ini tak dilakukannya.

"Di sini biasa memukul murid memakai rotan, meskipun tidak sampai mengakibatkan luka. Saya diberi tahu untuk menghadapi murid agar memakai rotan. Namun saya tidak pernah memakai rotan, karena tidak terbiasa," tutur Gilang tersenyum.

Gilang dan Dhani mengaku menerima gaji dari Kementerian Pendidikan senilai Rp 2,5 juta/bulan, atau Rp 3 juta/bulan, kadang-kadang Rp 2,8 juta/bulan. Memang nilai nominalnya mereka rasakan agak berubah-ubah seperti itu.

"Tanggal cairnya juga tidak jelas, kadang-kadang pertengahan bulan, kadang-kadang akhir bulan," tuturnya.

Ditambah lagi, pihak sekolah memberi uang Rp 150 ribu/bulan. Semua uang itu bisa digunakan untuk hidup di kawasan terdepan Indonesia ini.

"Itu cukup, layak hidup," kata Gilang.

Soal sinyal komunikasi, mereka sempat mengalami kesulitan saat datang ke sini pertama kali, yakni September 2016. Bila ingin menelpon, mereka harus meletakkan ponsel di luar atau bahkan naik di bukit terdekat untuk mendapatkan sinyal.

"Di situ ada BCL, Bukit Cinta Lahurus. Itu yang di atas tanjakan itu. Mereka biasa berkomunikasi dengan siapa saja di sana," kata Dhani.

Harus menunggu sejenak dulu sebelum ada SMS masuk menandakan ada sinyal telekomunikasi seluler yang bisa digunakan. Setelah itu, barulah mereka bisa bertelepon ria di bukit itu. Bahkan kadang-kadang mereka dapat roaming karena sinyal dari Timor Leste yang masuk. Namun sejak akhir 2016, dibangunlah satu menara BTS di sini. Kini mereka sudah bisa untuk sekadar mengirim e-mail atau pesan via WhatsApp.

"Bisa internet, semenjak ada tower baru di sini, tower Telkomsel," kata Gilang.

Di desa ini, mati lampu sering terjadi. Rata-rata mati lampu berlangsung selama enam jam. Meski harinya tak tentu, namun ada satu hari yang hampir pasti terjadi mati lampu. "Sabtu pasti mati," kata dia.

Secara umum, nasib mereka sebagai guru SM3T jauh lebih baik ketimbang kawan-kawannya yang disebar ke berbagai daerah yang lebih pelosok, jauh dari jalan utama. Dia menceritakan, kawannya ditempatkan di daerah yang jauh di gunung-gunung, tanpa sinyal selular, tak ada listrik, dilengkapi dengan akses jalan yang tak mudah.

"Ada satu teman saya, perempuan, tinggalnya di perpustakaan sekolah di Lamaknen Selatan, tanpa listrik. Medan yang harus ditempuh juga luar biasa. Kalau ke sana harus naik motor ekstra hati-hati melewati jalan setapak. Kami beruntung ditempatkan di sini," tutur Gilang.

Lebih dari itu, mereka juga merasa bersyukur bisa mendapat penerimaan yang baik dari warga setempat. Di Tanah Sahabat ini, Gilang dan Dhani menjadi saksi bahwa toleransi terhadap sang liyan bukan hanya slogan, tapi praksis.

Perbedaan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) tak boleh dijadikan hal yang tabu, dilarang dibicarakan, diselimuti misteri, dan dibiarkan gelap sehingga malah berbahaya. Justru Perbedaan SARA harus dijembatani dengan komunikasi-komunikasi yang mendewasakan dan meningkatkan saling pengertian. Perbedaan bukan untuk ditekan-tekan atau diseragamkan, namun perbedaan harus dirayakan sebagai suatu anugerah.

Seperti kata Suster Carolla tadi, "Budaya itu tidak membuat kami saling jauh satu sama lain, tapi sebenarnya memperkaya."

Sumber: https://news.detik.com/berita/d-3482214/guru-tapal-batas-saksi-toleransi-di-tanah-sahabat

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungannya di Blog Pak Pandani | Belajar dan Berbagi. Jika ada pertanyaan, saran, dan komentar silahkan tuliskan pada kotak komentar dibawah ini....

Salam Pak Pandani

Lebih baru Lebih lama