"Pak Jokowi, Minta Tas" dari Anak Tapal Batas

Foto: facebook
Pemerintah Indonesia saat ini tengah membangun perbatasan untuk menjadikan beranda negara. Kawasan Pos Lintas Batas Negara (PLBN) sudah dibangun megah dan mewah. Seperti di Kalimantan Barat, ada tiga PLBN disana yang sudah dibangun. Tapi pembangunan belum merata menyentuh dunia pendidikan.

Salah satunya, fasilitas pendidikan di Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat yang berbatas langsung dengan Serikin, Sarawak, Malaysia yang dianggap masih perlu dibenahi. Pelajar-pelajar di tapal batas tersebut saat ini masih belum mencapai kelayakan dalam mengenyam bangku pendidikan. Boleh dikata, syukur-syukur masih ada yang mau sekolah dan tak tergiur mau hijrah ke negara tetangga.

Selain infrastuktur sekolah yang tak memadai, fasilitas pendukung juga tak bisa diandalkan. Sebagai contoh, sekolah dasar negeri (SDN) 04 Sungkung, Kecamatan Siding, Bengkayang. Kebanyakan pelajar di sekolah ini harus menempuh jalan berbatuan, tanjakan, berlumpur dan berdebu selama 2-3 jam dari rumah mereka untuk menuju sekolahnya. Tanpa alas kaki alias kaki ayam. Tanpa tas hanya menggunakan kantong kresek (plastik). Serta mengenakan seragam yang lusuh, tak seperti pelajar selayaknya. Setibanya di sekolah, mereka harus menghadapi bangunan sekolah yang sudah tak layak, penuh dengan lubang dan rapuh.

Melihat kemirisan ini, seorang guru Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan Terluar dan Tertinggal (SM-3T) Kemendikbud, Anggit Purwoto, yang ditugaskan di tapal batas ini mencoba mengabarkan kondisi pendidikan sebenarnya di perbatasan melalui video singkat yang dibuatnya.

Dalam video singkat yang diunggah di facebook dan instagram miliknya itu, empat murid SDN 04 Sungkung menyerukan mohon bantuan kepada pemerintah. Dengan suara lirihnya, mereka berkata 'Pak Jokowi Minta Tas'.

"Sebenarnya itu adalah keinginan hati kecil mereka untuk memiliki tas dan sepatu serta bantuan pendidikan lainnya. Sama seperti siswa di kota," kata Anggit kepada Okezone, Selasa (4/4/2017) pagi.

Video yang diunggah ini kemudian viral. Hal ini memang yang diharapkan Anggit, agar masyarakat yang mampu dan terutama pemerintah mengetahui kondisi pendidikan di tapal batas. Sehingga dapat mengulurkan bantuan.

"Tidakkah kalian merasa kasihan. Masih adakah hati nurani kalian. Mereka hanya minta tas, untuk membawa buku-buku yang mungkin bertuliskan mimpi-mimpi kecil mereka, agar mimpi yang mereka tuliskan tidak hancur terkena lumpur atau koyak kena hujan. Tidakkah kalian iba, melihat baju kotor mereka. Berjam-jam jalan melewati jalan lumpur. Tidakkah kalian iba ketika perjuangan mereka, mimpi mereka terhapus sia-sia oleh kejamnya negeri perbatasan. Dengarlah suara lirih mereka Pak", tulisnya dalam video tersebut.

"Dengan video itu, saya berharap Presiden Joko Widodo tahu kondisi anak-anak pelajar di perbatasan. Setidaknya bisa lebih memperhatikan pendidikan di pelosok Indonesia," harapnya saat berbincang denganOkezone.

Pemuda asal Purbalingga, Jawa Tengah ini ditugaskan mengabdi selama setahun disana. Ada 135 murid SDN 04 Sungkung menjadi anak didiknya. Ditambah lagi mendidik pelajar SMAN 1 Siding, yang juga butuh tas dan sepatu. Dia dan empat guru SM-3T lainnya sudah melewati masa tujuh bulan mengajar tersebar di setiap sekolah di Sungkung.

Alumni Universitas Muhammadiyah Purwokerto ini mengaku sedih melihat kondisi anak Indonesia seperti itu. Pertama kali menginjakkan kakinya di Bumi Sebalo ini, ia heran diera modern tersebut masih ada pelajar SD dan SMA yang ke sekolah hanya pakai sandal bahkan telanjang kaki.

"Kami sedih kami kasihan. Kami katakan kepada meraka, kami bukan pejabat yang bisa menyampaikan keadaan ini kepada Presiden. Makanya kami mulai mencari bantuan untuk adik-adik, dimulai dengan video itu," tuturnya.

Menurutnya, wajar saja kondisi ini terjadi. Lantaran Sungkung yang ia nilai merupakan sebuah desa yang sangat terisolir jauh dari kata kemajuan. Butuh perjalanan dua hari dari pusat Kabupaten Bengkayang. Akses jalan aspal terdekat adalah berada di Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau. Untuk menuju jalan aspal terdekat membutuhkan waktu delapan jam menggunakan sampan menyusuri sungai Sekayam dan empat jam melalui jalan darat jika kondisi kering. Namun, jika basah tidak sulit diprediksi. Minimal butuh biaya Rp600 ribu dari pusat bengkayang untuk sampai di Sungkung.

Hidup di Sungkung harus siap tanpa listrik. Untuk mendapat jaringan telekomunikasi pun harus naik bukit yang jarak tempuhnya 45 menit jalan kaki dari Asrama para guru SM-3T ini. Belum lagi ditambahnya dengan ganasnya harga segala macam barang disana. Produk-produk buatan Malaysia yang dominan lebih murah sangat mendominasi wilayah ini. Disana berlaku dua mata uang yaitu ringgit dan rupiah.

"Saya salut dengan perjuangan anak-anak tapal batas ini. Agar tetap bisa menyambung sebuah coretan tinta di buku, mereka ada yang sekolah sambil jual kue. Mereka tidak menyerah dengan keadaan," ujarnya.

ak sedikit pula, anak didiknya baik SD maupun SMA yang bekerja di Malaysia ketika liburan, demi membayar uang bulanan sekolah. "Mereka tahu benar bahwa hidup di negara tetangga jauh lebih sejahtera, tapi mereka masih memiliki rasa kebangsaan yang tinggi dan berfikir dua kali untuk menjadi warga negara di negara seberang," kata Anggit.

Bagaimanapun, lanjutnya, mereka lebih memilih 'hujan batu' di negeri sendiri daripada 'hujan emas' di negeri orang. Lantas bagaimana peran orangtua atau keluarga dalam pendidikan anak? Sepanjang pengetahuan Anggit setiap orangtua muridnya sangat mendukung.

"Mayoritas orangtua mereka, petani. Mereka mendukung pendidikan anak. Cuma kurang memperhatikan keperluan sekolah. Yah semua karena terkendala biaya. Penghasilan ada, cuma langsung habis dengan kebutuhan pokok yang terlalu tinggi," ulasnya.

Memang, perhatian pemerintah pun sejauh ini ada. Seperti penyaluran dana BOS sampai kepada murid-muridnya. Tapi, hasil dari pemanfaatannya tak banyak, kembali lagi soal harga segala macam barang disana sangat mahal. "Dana BOS sebenarnya ada, cuma tidak mencukupi. Karena harga barang disini melambung tinggi. Contoh semen Rp450 ribu per sak, elpiji 3 kilogram saja Rp80 ribu. Satu buku tipis Rp7 ribu, pulpen Rp5 ribu," paparnya.

Ketika dihubungi ini, Anggit tengah berada di pusat Bengkayang. Ia turun gunung untuk menggalang dan mengurus bantuan dari masyarakat yang tergugah hatinya menonton video, Pak Jokowi Minta Tas.

Ia mengatakan, hal terburuk bukan ketika mereka tidak punya baju bagus untuk berangkat ke sekolah, bukan ketika mereka tidak punya sepatu, bukan ketika mereka tidak punya tas, tetapi hal terburuk adalah ketika mereka tidak mempunyai mimpi. Perjalanannya di Sungkung ini, kata Anggit, akan dijadikan pelajaran hidup yang sangat berarti.

"Sementara kita berusaha mengajari anak-anak kita pelajaran tentang hidup, mereka mengajari kita apa kehidupan itu," tutup pemuda kelahiran 30 Agustus 1994 ini.

Sumber: http://news.okezone.com/read/2017/04/04/340/1658209/melihat-lebih-dalam-seruan-pak-jokowi-minta-tas-dari-anak-tapal-batas

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungannya di Blog Pak Pandani | Belajar dan Berbagi. Jika ada pertanyaan, saran, dan komentar silahkan tuliskan pada kotak komentar dibawah ini....

Salam Pak Pandani

Lebih baru Lebih lama