Sinergisitas untuk Akses Pendidikan yang Merata dan Berkeadilan


Kemerataan, sejak dulu memang menjadi permasalahan yang cukup pelik diatasi, apalagi terkait pendidikan. Kepelikan itu bukan berarti tidak bisa diatasi, bila saja semua komponen pemerintahan bisa bahu-membahu mewujudkan salah satu tujuan negara yang diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa” merupakan janji para pendahulu bangsa ini, dan sekaligus sebagai janji kita bersama untuk seluruh warga Indonesia.

Oleh: WAHYU AMUK - PADANG
(Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana UNP)

Melihat perjalanan dua puluh tahun yang lalu, saya pernah merasakan masa pendidikan yang begitu suram. Sebab terkendala biaya, serta jarak yang cukup jauh bagi seorang anak desa, mengharuskan saya mundur dari bangku sekolah. Saya terpaksa menganggur setelah menamatkan pendidikan di Madrasah Tsanawaiyah (MTs) Negeri Agung Jaya, Mukomuko. Namun setahun kemudian, saya melawan dan kembali bangkit mengenyam pendidikan SMA Negeri 02 Lubuk Pinang Mukomuko, sambil kerja.

Bila saja pemerintah tidak lengah, saya tidak akan pernah menganggur, karena dalam UUD 1945 pasal 31 ayat (1), bahwa setiap warga berhak mendapat pendidikan. Amanat UUD 1945 itu sudah diikrarkan kurang lebih 72 tahun sejak Indonesia merdeka. Bila disamakan dengan umur manusia, 72 tahun merupakan puncak penikmatan hasil kerja keras bagi seseorang. Sebaliknya, jika masa muda dihabiskan dengan berfoya-foya, 72 tahun merupakan waktu yang sia-sia belaka.

Mirisanya sampai saat ini, berbagai persoalan pendidikan masih jalan ditempat, hanya beringsut-ingsut menuju perbaikan. Memang, pemerintah sudah berusaha sedemikian rupa, tapi juga tidak bisa pungkiri 72 tahun belum membawa Indonesia ke puncak yang semestinya. Wajah pendidikan di Indonesia masih jauh dari apa yang diharapkan oleh pendiri bangsa ini dahulu. Bukan hanya persoalan mutu pendidikan, sarana-prasarana, dan perilaku masyarakat sekolahnya saja, tapi juga persoalan pendidikan yang belum meluas, merata, dan berkeadilan.

Terbukti sampai saat ini, jumlah angka putus sekolah di Indonesia semakin meningkat. Berdasarkan informasi yang dikutip okezone.com, laporan Organitation for Economic Coopertiond Development (OECD) Educationat Glance tahun 2015, Indonesia sebagai peringkat kedua setelah China, angka terbanyak anak putus sekolah yaitu sebanyak 60 persen. Merujuk data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), pada tahun 2015 hingga 2016 sebanyak 946.013 siswa lulusan SD tidak mampu melanjutkan pendidikan ke tingkat menengah (SMP). 

Sementara sesuai laporan dari radioidola.com dengan data survei Badan Pusat Statistik (BPS) 2016, sekitar 73 persen kasus putus sekolah akibat faktor ekonomi. Pernyataan itu disampaikan Budi Trikorayanto, Sekjen Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif (Asahpena), selain peran pemerintah belum maksimal dibidang pendidikan non formal, faktor ekonomi menjadi salah satu penyebab terjadinya anak putus sekolah.

Padahal sesuai UUD 1945, pasal 31 ayat (2) telah disebutkan setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar, dan pemerintah membiayai. Kemudian dalam UUD 1945 juga disebutkan yang intinya, bahwa pendidikan diarahkan bagi seluruh rakyat dengan perhatian utama pada rakyat kurang mampu, untuk mengembangkan pendidikan moral demi menjadi penerus bangsa yang lebih baik. Bila permasalahan ini masih dilalaikan oleh pemerintah, tentu pemerintah sudah melanggar UUD dan berkhianat pada pendiri bangsa ini. 

Melihat fakta sesuai data tersebut, program Wajib Belajar (Wajar) 9 tahun yang dicetus sejak masa pemerintahan mantan Presiden RI Suharto pada tanggal 2 Mei 1994, sampai lahirnya PP No.47 tahun 2008 perlu dipertanyakan. Pemerintah terkesan tidak serius melaksanakan program Wajar 9 tahun tersebut. Selanjutnya program Wajar 12 tahun mulai dirintis masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono sejak 2012 yang lalu, serta menggelontorkan Biaya Operaisonal Sekolah (BOS) triliunan rupiah. 

Sesuai informasi dari kompas.com, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Puan Maharani menyebutkan program Wajar 12 tahun akan dimulai Juni 2015. Katanya, semua anak Indonesia wajib sekolah, dan pemerintah wajib untuk membiayai dan menyediakan segala fasilitasnya sesuai janji kabinet kerja. Pemerintah akan mengucurkan dana BOS sampai ke tingkat menengah atas (SMA/SMK/MA). Tapi kenyataan sangat berbeda di lapangan, jutaan anak menjerit dan terpaksa putus sekolah karena kemiskinan.

Berdasarkan informasi yang dimuat suara.com, Badan Pusat Statistik (BPS), mencatat angka kemiskinan di Indonesia secara tahunan 28,51 juta orang pada September 2015, bertambah 780 ribu orang dibanding September yang hanya 27,73 juta orang. Sesuai informasi dari CNNIndonesia survei BPS menyatakan dari total penduduk miskin di Indonesia, sebanyak 17, 28 juta orang (62,24 %) berada di pedesaan. Sementara sisanya 10,49 juta orang (37,76 %) penduduk miskin berada di perkotaan. 

Mirisnya lagi, informasi yang dimuat kompas.com sesuai data BPS DKI Jakarta, jumlah penduduk miskin di kawasan Jakarta Maret 2016 naik hingga 0,14 poin, dari jumlah 368.670 orang September 2015 menjadi 384.300 orang. Hal ini menunjukkan, apabila putus sekolah dipatokkan oleh faktor kemiskinan, di daerah ibu kota Jakarta saja banyak anak yang putus sekolah. Coba bayangkan, bagaimana nasib anak bangsa di kawasan pedesaan yang mayoritas miskin, terutama daerah Maluku dan Papua.

Sesuai fakta yang ada, untuk pemerataan, perluasan, dan menjadikan pendidikan yang berkeadilan merupakan pekerjaan rumah yang besar harus dituntaskan oleh pemerintah, tentu juga dengan dukungan semua elemen masyarakat. Bila hal ini diabaikan alangkah teganya pemerintah merampas masyarakat hak masyarakat miskin. Hak untuk mendapat pendidikan merupakan salah satu hak asasi manusia (HAM), yang tercantum dalam bab Xa tentang HAM, sekaligus salah satu hak dasar warga negara sesuai UUD 1945.

Banyak faktor yang menyebabkan selama ini pendidikan di Indonesia belum meluas, merata, dan berkeadilan. Selain faktor kemiskinan, akses menuju lokasi sekolah yang cukup jauh dan sulit, terutama di kawasan pedesaan. Sementara tidak ada transfortasi untuk menuju ke lokasi, sehingga tenaga pendidik di daerah masih kurang. Kekurangan tenaga pendidik ini, bukan hanya berdampak ke kualitas pendidikan, tapi juga berefek rendahnya minat sekolah (belajar) peserta didik (siswa). Maka untuk mewujudkan akses pendidikan yang meluas, merata, dan berkeadilan, semua pihak harus bersinergi dalam tujuan yang sama, demi pendidikan yang berkualitas.

Persoalan Sebaran Guru Harus Diperhatikan

Sekali lagi, mewujudkan akses pendidikan yang meluas, merata, dan berkeadilan ialah pekerjaan rumah yang segera dituntaskan oleh pemerintah. Tentu tidak gampang, selain memberi fasilitas, sarana, dan prasarana yang memadai, kuantitas tenaga pendidik juga harus merata, dan meluas, agar pendidikan benar-benar berkeadilan. Apabila kuantitas guru tersebar dan merata di setiap daerah, akan mampu meningkatkan mutu pendidikan yang berkualitas, dan melahirkan generasi yang berkualitas.
Sayangnya, ini terasa angan-angan belaka. Tahun 2014 lalu, www.antara.com pernah memberitakan daerah pinggiran kota Padang, seperti daerah Bungus dan Teluk Kabung kekurangan guru, terutama untuk sekolah tingkat dasar sebanyak 700 orang. Pada tahun 2015, seperti yang diberitakan haluan.com, kota Padang masih membutuhkan sebanyak 1000 guru SD. Sementara sesuai informasi di www.antara.com, saat ini daerah Pasaman Barat juga masih kekurangan 1.500 guru, dari 300 SD dan SMP Negeri. Selanjutnya seperti yang disampaikan oleh hariankoranpadang.com saat ini di daerah Solok Selatan sangat minim jumlah guru, terutama untuk sekolah madrasah.

Kemudian di daerah lain, Agustus 2016 lalu www.radarcirebon.com menginformasikan Kemendikbud masih membutuhkan 188 ribu orang lebih guru SD Negeri, terutama guru guru kelas, penjas, dan muatan lokal. Beritakan republika.com pemerintah kota Malang juga kekurangan 328 orang guru kelas dari 195 jumlah SD Negeri yang ada di Malang. Data ini dari beberapa daerah saja, belum dijumlahkan dengan kekurangan di daerah pelosok wilayah timur Indonesia, yang tentu masih minim tenaga pendidiknya.

Apabila melihat kenyataan itu, alangkah mirisnya pendidikan, dan calon peserta didik di Indonesia. Padahal, jumlah perguruan tinggi di Indonesia mencapai 4.350 institusi yang jumlah penduduk Indonesia sebanyak 250 juta orang. Informasi dari kompas.com, yang menyatakan saat ini ada 347 LPTK di Indonesia, baik negeri maupun swasta. Sebanyak 32 negeri yang terdiri dari 12 universitas, serta 20 fakultas, dan selebihnya 342 swasta. Namun kenyataannya, Indonesia masih kekurangan guru, terutama di daerah pelosok.

Padahal, Universitas Negeri Padang (UNP) saja setiap tahunnya mampu menghasilkan 4.000 lebih calon guru setiap tahunnya, begitu pula dengan LPTK lainnya. Apabila kita jumlahkan, dari 32 LPTK negeri yang setiap tahunnya mampu menghasilkan rata-rata 3.000 hingga 5.000 orang calon guru, LPTK negeri di Indonesia menghasilkan calon guru 100.000 orang lebih guru yang siap mengisi kekurangan di berbagai sekolah. Maka keluhan kekurangan guru di berbagai pelosok selama sangat gampang diatasi. Ternyata 

sampai saat ini, masih banyak guru yang dibutuhkan, khususnya di pelosok.
Tentu ada penyebabnya, terutama masalah lapangan kerja. Mayoritas lulusan calon guru dari UNP, beralih ke bidang pekerjaan lain, karena kerja di perusahaan gajinya lebih besar. Selain karena gaji guru honorer sangat kecil, penerimaan guru honorer sudah dibatasi. Hal ini seharusnya juga menjadi perhatian pemerintah, agar bisa memberikan berbagai peluang untuk tenaga pendidik agar bisa mengajar, sehingga akses pendidikan di berbagi pelosok negeri tersebar secara merata. Selain itu, bagi mahasiswa atau calon guru yang sudah lulu, hendaknya memantapkan hati agar mau menjadi guru dengan segala persiapan. Jangan sampai menjadi guru hanya “aji mumpung” belaka.

Beragam Gerakan Mencerdaskan Harus Dikuatkan

Jumlah sebaran guru di daerah pelosok, dibandingkan dengan jumlah guru di perkotaan memang terlihat kesenjangan yang sangat jauh. Ketidakmerataan ini menggerakkan pemerintah, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) melakukan satu program Sarjana Mengajar di daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM3T). Program SM3T ini sudah dimulai sejak tahun 2011 yang diamanatkan pada perguruan tinggi Lembaga Pendidikan Tinggi Keguruan (LPTK) yang ada di Indonesia. 

Setiap tahunnya, program SM3T ini telah mengirim minimal 3.000 sarjana ke berbagai daerah pelosok yang diikuti oleh lulusan-lulusan terbaik. Harapannya bisa membawa misi pendidikan yang meluas, merata, dan berkeadilan. Sayangnya pengabdian mereka hanya berlangsung satu tahun. Setelah itu, di daerah pelosok kembali kekurangan guru. Kemudian, alumni SM3T akan kembali dididik melalui program Program Profesi Guru (PPG) selama setahun dengan biaya dari pemerintah.
Pada 13 Februari 2017 lalu, sebanyak 206 orang peserta SM3T melaksanakan orientasi PPG di Universitas Negeri Padang (UNP). Merujuk pada Peraturan Pemerintah RI No. 74 tahun 2008, yang isi intinya calon guru yang memiliki kualifikasi akademik S1/DIV, diwajibkan untuk menempuh pendidikan profesi, agar dapat memiliki kompetensi dan mendapatkan sertifikat pendidik seperti yang diamanatkan dalam PP tersebut, melalui Pendidikan Profesi Guru (PPG). Hal ini dalam rangka mempersiapkan calon guru yang profesional, untuk tenaga pendidik anak bangsa di masa mendatang.
Sebelumnya, pada tahun 2016 pihak UNP juga sudah melantik calon guru profesional dari PPG-SM3T ini sebanyak 136 orang, sekaligus menerima setifukat pendidik. Secara terperinci, jumlah Pendidikan Bahasa Indonesia 17 orang, Pendidikan Bahasa Inggris 5 orang, Pendidikan Biologi 12 orang, Pendidikan Fisika 13 orang, Pendidikan Geografi 15 orang, Pendidikan PPKn 21 orang, PAUD 12 orang, SD 15 orang, dan Pendidikan Jasmani Kesehatan, dan Rekreasi sebanyak 26 orang.
Setelah lulus PPG, alumni SM3T menunggu penerimaan program Guru Garis Depan (GGD) yang digadang-gadangkan akan diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Program GGD ini juga sebagai cikal-bakal dalam pemenuhan tenaga pendidik di daerah pelosok, tapi statusnya sudah berbeda dibanding SM3T. Sebenarnya program GGD ini bisa diikuti oleh semua tenaga pendidik, hanya saja lebih dikhususkan untuk para guru pofesional. Tentunya selain sudah lulus PPG, juga sudah pernah menjadi guru SM3T.

Sayangnya dalam proses menunggu GGD, alumni SM3T kembali ke tanah kelahirannya masing-masing. Tersebabkan di tempat mereka tidak ada penerimaan guru mengajar di sekolah, banyak diantaranya memilih bekerja di lembaga bimbingan belajar, privat, atau terpaksa mencari pekerjaan selain guru. Fakta ini mengartikan program SM3T hanyalah program pendidikan meluas, merata, dan berkeadilan sementara, belum seutuhnya. Tapi meskipun begitu, kita seharusnya tetap berterima kasih pada guru SM3T karena sudah mengabdi di daerah pelosok, yang tidak semua orang sanggup menjalaninya.

Lantas, nasib sekolah di pelosok yang ditinggali SM3T hanya menjadi tempat belajar, dan menorehkan kenangan semata. Sekolah-sekolah itu akan kembali kekurangan guru. Persoalan ini harus dipikirkan oleh pemerintah, sebab sudah menguncurkan daya yang begitu banyaknya. Program SM3T ini sangat bagus, tapi masih banyak hal yang harus ditinjau kembali terkait proses input dan output program ini. Tentu sejatinya program ini ialah untuk pemenuhan akses pendidikan yang meluas, merata, dan berkeadilan. Jangan sampai program SM3T ini hanya sebagai tempat pelarian para sarjana untuk menjadi PNS, atau akibat kurangnya ketersediaan lapangan kerja semata. 

Pada tahun 2016 sempat ada wacana penghentian program SM3T, sebab dianggap tidak memenuhi syarat dengan UU tentang guru dan dosen. Hal ini karena sesuai UU guru dan dosen, seorang yang dinyatakan boleh mengajar hanyalah guru pemegang sertifikat pendidik. Sementara guru SM3T belum ada sertifkat pendidiknya. Namun hal itu telah dijelaskan Direktur Pembelajaran Ditjen Pembelajaran dan Kemahasiswaan (Belmawa) Kemenristekdikti, Paristiyanti Nurwardani bahwa SM3T tidak dihapus, hanya saja dimodifikasi. Hal ini sebagai bentuk evaluasi pemerintah dalam pelaksanaan SM3T, guru yang ditempatkan di kawasan terluar, terdepan, dan tertinggal (3T) bukan hanya sebagai pelaku pendidikan, tapi juga cikal-bakal tenaga pendidik profesional.

Selain program SM3T yang digagas pemerintah melalui Kemenristekdikti ini, untuk pemenuhan akses pendidikan yang meluas, merata, dan berkeadilan, beberapa lembaga, atau organisasi juga ikut ambil bagian. Misalnya ada program Indonesia Mengajar (IM), sebagai sebuah lembaga nirlaba dengen merekrut, melatih, dan mengirim generasi muda terbaik bangsa ke berbagai daerah pelosok Indonesia. Program IM ini khsusus mengajar di Sekolah Dasar (SD) oleh Pengajar Muda (PM) dan masyarakat selama setahun.

Program IM digagas oleh Anies Baswedan sejak tahun 2009 lalu ini, bukan hanya untuk sarjana keguruan, namun berlaku bagi seluruh pemuda dari berbagai perguruan tinggi terbaik di Indonesia. PM direkrut untuk mengabdi pada negeri sebagai bentuk pelunasan janji untuk mencerdaskan kehidupan anak bangsa ini. Hebatnya lagi program IM saat ini sudah memiliki alumni seribu lebih. Melalui program IM ini berarti pemerintah akan terbantu dalam pemenuhan kebutuhan guru sekolah di pelosok, untuk mencapai akses pendidikan meluas, merata, dan berkeadilan.

Uniknya lagi, ada komunitas atau organisasi anak muda yang juga peduli dengan dunia pendidikan. Komunitas ini tentu akan membantu program pemerintah, terutama untuk menjangkau pendidikan di daerah pelosok. Salah satunya sebuah komunitas 1000 Guru yang digagas oleh pemuda hebat, Jemi Ngadiono. Komunitas ini pun kini mempunyai perwakilan dari seluruh provinsi yang ada di Indonesia. Komunitas yang didirikan 22 Agustus 2012 ini memanfaatkan momentum hobi anak muda kekinian, dengan konsep Traveling and Teaching untuk menjangkau pendidikan anak-anak di pedalaman.

Kemudian adapula komunitas Kelas Inspirasi (KI), yang hampir sama dengan gerakan 1000 Guru. Meskipun caranya berbeda, tapi tujuannya tetap satu, yaitu dalam rangka mencerdaskan anak bangsa di daerah pelosok. Komunitas KI ini merekrut profesional dari berbagai bidang, untuk mendidik, dan memberi insiprasi demi mewujudkan mimpi anak Indonesia. Begitu pula beragam komunitas, organisasi, lembaga pemerintah, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) lainnya masih banyak yang peduli dengan dunia pendidikan di Indonesia. Semua itu, jalan untuk menuju akses pendidikan yang meluas, merata, dan berkeadilan seperti yang diharapkan, sebagai tanggungjawab bersama.

Kuatkan Rasa Berkeadilan dalam Pendidikan

Beberapa tahun yang lalu, saya pernah menulis sebuah artikel berjudul “Honorer juga Manusia”, dan dimuat oleh Harian Haluan Padang. Sebab guru honorer sering dilema. Bila mereka mengajar bayarannya sangat-sangat rendah, bila tisak mengajar siswanya terlunta-lunta. Terutama di daerah pedesaan atau pelosok. Begitulah kira-kira peliknya hidup seorang honorer di sekolah, bagaikan menggenggam buah simalakama, “ditelan pahit dibuang sayang.”

Problema tentang tenaga pendidik ini sudah lama terdengar. Namun sampai detik ini belum ada titik terangnya. Masih banyak guru yang mengeluh, dengan biaya hidup yang masih melambung tinggi, namun pendapatan dari hasil mengajar hanya bisa membei sesuap nasi. Penghasilan hanya “sekedar basa-basi” saja dari pihak sekolah, sedangkan dari pemerintah tidak pernah ada. Begitualah penderitaan para penyandang gelar “tanpa tanda jasa” ini, seperti yang dinyanyikan oleh Roma Irama, “gali lobang tutup lobang.” 

Bagaimana seorang guru bisa melaksanakan UU No.14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD), dan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, sesuai pasal 39 Ayat (2), sedangkan mereka harus masih memikirkan “keroncongan” perut anaknya. Sungguh miris. Padahal, ada berbagai kasus guru Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang keluyuran ketika jam mengajar, ke pasar, ke mall, atau ngerumpi di ruang guru. Oknum PNS itu masih merasa kurang, mengeluh, dan menuntut upah yang lebih.

Sebaliknya, honorer dibayar seadanya, padahal beban mengajarnya sama dengan PNS. Ketidakadilan ini harus segera dituntaskan. Kenyataan ini saya temukan di daerah saya, Kabupaten Mukomuko Provinsi Bengkulu. Guru honorer dari SD, SMP, sampai SMA, disana sangat miris. Upah yang mereka terima hanya Rp.300.000,- yang dibayar per tiga sampai lima bulan sekali. Padahal kewajiban yang diembannya sama dengan guru-guru PNS. Kecilnya upah ini pula yang menyebabkan merosotnya kualitas pembelajaran di sekolah. Kita harus berbicara jujur, bahwa tidak akan ada yang semangat untuk mengajar jika dibayar hanya “sekadar.” Jadi tidak bisa juga guru yang disalahkan jika hasil belajar siswa kurang maksimal. 

Maksudnya, akses pendidikan yang meluas, merata, dan berkeadilan bukan hanya harus dilihat dari penyebaran kuantitas pendidiknya saja, tapi juga kesejahteraan pendidiknya. Saya yakin, dengan adanya kesejahteraan para guru, baik PNS, maupun honores, atau tenaga pendidik jalur lainnya, kebutuhan guru di setiap sekolah akan tersebar merata, dan meluas. Lulusan LPTK pun pasti akan berbondong-bondong menjadi guru yang profesional, asalkan ada jaminan mengenai kesejahteraannya.
Sebab, tujuan pendidikan sebenarnya bukan hanya tentang otak, tapi tujuan akhirnya juga akan sampai ke “perut”. Maka, sangat diharapkan bagi semua elemen masyarakat, pejabat pemerintahan, dan pelaku pendidikan untuk mampu bersinergi, dengan tujuan yang sama, yaitu akses pendidikan yang meluas, merata, dan berkeadilan. Tentu, akses yang dimaksud bukan hanya proses pendidik sampai di aderah tujuan, tapi juga proses pendidikan bisa diajarkan dan diterima dengan tenang. Jika tidak, pendidikan hanyalah angan-angan cita-cita pendiri bangsa 72 tahun yang silam, dengan luka yang dalam. * 

Sumber: https://www.metroandalas.co.id/berita-sinergisitas-untuk-akses-pendidikan-yang-merata-dan-berkeadilan.html

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungannya di Blog Pak Pandani | Belajar dan Berbagi. Jika ada pertanyaan, saran, dan komentar silahkan tuliskan pada kotak komentar dibawah ini....

Salam Pak Pandani

Lebih baru Lebih lama