Story Tak Bertemu Orang Tua Selama 1 Tahun, Ini Kisah Para Pengabdi SM-3T


Mengabdi menjadi peserta Sarjana Mengajar di Daerah Terdepan Terluar dan Tertinggal (SM3T) memang harus dibekali dengan mental yang kuat. Karena tak hanya jauh dari fasilitas hidup sehari-hari, mereka juga harus siap untuk tak bertatap muka dengan keluarga dan orang terkasihnya selama satu tahun.

Salah satunya dirasakan peserta SM3T yang dikirim melalui Universitas Negeri Malang (UM), Mohammad Faisal. Sepanjang satu tahun, ia hidup bersama keluarga barunya di Distict Aboy Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua.menuju kota yang sulit dan tidak adanya signal untuk seluler membuatnya sangat susah berhubungan dengan keluarganya. Ketika mengabdi, dia hanya berhasil satu kali mengirim surat kepada orangtua dan sekali saja mendengar suara ibunya melalui saluran radio.

“Jadi saya selalu menghubungi teman yang ada signalnya menggunakan radio untuk menelvon keluarga saya. Setelah tersambung, suara ibu saya ditempelkan ke mike radio agar terdengar. Tapi karena signalnya juga kurang baik, hasilnya selama satu tahun saya hanya bisa mendengar satu kali suara ibu saya, waktu itu jelang hari raya Idul Fitri,” ceritanya.

Meski begitu, ia tak sedikitpun merasa kecewa. Bahkan ia selalu merasa terhibur dengan semangat para muridnya. Di sana, ia pun belajar banyak terkait budaya dan kebiasaan masyarakat Papua yang selalu mengedepankan gotong royong.

Lucunya, ia bahkan sempat menulis puluhan lembar surat untuk kekasihnya. Namun sayang, surat yang ia tulis selama beberapa hari itu tak sampai pada pujaan hati. Karena ketika itu ia lupa menaruh suratnya.

“Dan lucunya lagi, surat itu ditemukan angkatan saya selanjutnya dan dibaca deh itu suratnya,” kenangnya malu.

Tak hanya itu, ia bahkan pernah dua kali tenggelam dan hampir meregang nyawa. Karena dia tidak memiliki kemampuan berenang yang baik. Pengalaman pertamanya yang hampir tenggelam waktu itu karena ia diajak bermain disungai oleh para muridnya.

Ketika itu ia berfikir airnya tidak terlalu dalam karena tampak begitu bersih. Dengan santi ia berjalan ke tengah dan ternyata dalam, sontak ia langsung tenggelam. Beruntung, muridnya langsung menolong.

Sementara pengalaman ke dunya ketika ia menaiki perahu rakit. Layaknya anak bermain, para muridnya pun terjun ke sungai dan ketika hendak kembali naik ke perahu, perahu terbalik dan membuatnya kembali tenggelam.

“Wiihhh.. Itu pengalaman luar biasa dan dua kali saya hampir meninggal. Benar-benar takut sebenarnya, tapi nggak kapok main sama mereka di sungai untuk mancing,” urai pria berkacamata itu.

Selain tenggelam, dia juga sempat mengidap gejala malaria. Apesnya, saat itu dokter dan tenaga medis yang bertugas belum datang lagi ke district yang ia tempati. Saat itu, hanya ada petugas pembantu medis dan memberinya obat yang tanggal kadaluarsanya tinggal satu hari.

“Jadi besok sudah kadaluarsa gitu, hari ini saya minum obatnya. Alhamdulillah tidak apa-apa dan saya kembali sehat. Itu lah, selain pendidikan, fasilitas kesehatan juga masih ssusah,” tambah Fais.

Selain itu, ia juga dituntut untuk lebih mandiri dan mempersiapkan segala kebutuhan lebih matang. Dari yang awalnya tidak bisa masak sama sekali, akhirnya dia bisa menghidangkan beragam olahan yang sederhana. Setiap hari, hidangan sederhana itu selalu menjadi hal yang istimewa.

Dalam satu tahun, ia pun beberapa kali saja berkesempatan ke kota. Berbagai kebutuhan pokom ia beli dengan titip kepada warga yang hendak ke kota. Pola hidup yang bersahabat dengan alam pun ia rasakan dengan enjoy.

Kisah menyenangkan seperti kebiasaan muridnya yang mandi dan keramas menggunakan detergent masih ia simpan dalam berbagai folder yang ada di hard disknya. Termasuk kebersamaannya bersama warga sekitar dalam berbagai kesempatan, seperti melewati hutan untuk menunu daerah lain.

“Paling sedih itu ketika harus berpisah. Semua murid menangis dan meminta saya dan teman-teman untuk tetap tinggal. Salah seirang ibu yang setiap sore belajar membaca dan menulis pun memeluk erat saya dan meminta agar saya tetap tinggal,” kenang pria yang sempat turun berat badannya hampir 20 kilogram selama mengabdi itu.

Tak hanya Faishal, pengalaman lain juga dialami banyak lagi peserta SM3T lainnya. Dua diantaranya Linur Huda dan Yunita Puspitasari, peserta SM3T yang dikirim melalui Universitas Negeri Malang ke daerah Pidie Aceh.

Di sana, mereja berdua harus beradaptasi dengan banyak cara. Seperti cara berkomunikasi yang sangat jauh berbeda hingga cara beraktivitas setiap harinya. Bahkan, sempat pula terjadi gesekan budaya karena adanya perbedaan suku.

“Ketika mereka tahu kami dari Jaea, sempat juga kami dikucilkan karena di sna memang ada sedikit kress. Tapi semua tidak berjalan lama setelah kami berkomunikasi bersama dan menjadi lebih rukun,” terang Linur.

Sumber: https://malangtoday.net/rubrik/story/tak-bertemu-orangtua-selama-1-tahun-ini-kisah-para-pengabdi-sm3t/

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungannya di Blog Pak Pandani | Belajar dan Berbagi. Jika ada pertanyaan, saran, dan komentar silahkan tuliskan pada kotak komentar dibawah ini....

Salam Pak Pandani

Lebih baru Lebih lama