Catatan Guru SM-3T: Mengkaji Revisi SM-3T dan PPG

Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Jumat 5 Mei 2017
KEHANCURAN Jepang dalam Perang Dunia II tidak lantas membuat Nippon patah arang. Di antara reruntuhan puing, di tengah sisa desing peluru berpadu pekat aroma mesiu, Sang Kaisar lekas mencari dan menghimpun guru. Di pundak guru kaisar meniscayakan asa kebangkitan.

Dalam gurat sejarah Indonesia, guru juga tercatat memiliki andil besar dalam mendirikan entitas bangsa yang mahardika. Tercatat Ki Hadjar Dewantara, KH Hasyim Asyari, KH Ahmad Dahlan, Soedirman, HOS Tjokroaminoto hingga Bung Karno, pernah mengabdikan diri sebagai guru. Para founding fathers tersebut berprofesi sebagai guru, bukan saja dalam artian konotatif, melainkan juga denotatif. Mereka juga mengajar, menyemai ilmu pengetahuan, menebar khazanah ihwal nasionalisme dalam balut kejuangan.

Sejarah membuktikan bahwa pendidikan -- dengan guru sebagai ujung tombak -- merupakan faktor fundamental penentu jaya-binasanya sebuah bangsa. Tidak berlebihan jika guru ditahbiskan sebagai profesi agung lagi adiluhung. Bahkan dewasa ini, di tengah era globalisasi dan tunggang-langgang laju teknologi, guru tetap menduduki posisi penentu ‘mati atau muktinya’ kualitas manusia. Bedanya, guru masa kini juga dituntut memiliki empat kompetensi --kepribadian, sosial, pedagogi, dan profesional--yang harus dikuasai secara holistis. Profesionalisme guru di abad ke-21 adalah keniscayaan yang tidak bisa dinegosiasi.

Problema
Sejatinya, problema pendidikan di Indonesia tidak hanya berhulu pada ketidaktersediaan guru profesional, tetapi juga menyangkut kesenjangan pembangunan pendidikan antara kota dan daerah pelosok. Permasalahan pendidikan di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T) yang berkaitan dengan tenaga pendidik dan kependidikan antara lain : kekurangan guru, distribusi guru tidakseimbang, kualifikasi di bawah standar, kurang kompeten, serta ketidaksesuaian antara kualifikasi pendidikan dengan bidang yang diampu.

Untuk itulah sejak 2011, pemerintah mengimplementasikan program Sarjana Mengajar di daerah Terdepan, Terluar, Tertinggal (SM-3T) yang koheren dengan Pendidikan Profesi Guru (PPG). SM-3T merupakan wahana pengabdian para sarjana pendidikan yang dilaksanakan di pelosok nusantara. Setelah menunaikan pengabdian selama setahun di daerah 3T, peserta SM-3T akan langsung mengikuti PPG berasrama. Program ini diharapkan dapat menjadi trigger untuk mencipta guru profesional.

Kini regulasi program SM-3T PPG hendak direvisi oleh Kemenristekdikti (KR, 21/4). Ada beberapa alasan yang jadi pertimbangan. Di antaranya adalah peserta SM-3T belum memiliki sertifikat profesi guru. Padahal UU Guru dan Dosen mempersyaratkan seorang guru wajib bersertifikat. Selain itu, Indonesia saat ini mengalami kekurangan 300 ribu guru. Sementara rata-rata kuota SM-3T PPG hanya 3.000 peserta per tahun. Artinya, Indonesia butuh waktu seribu tahun untuk memenuhi kebutuhan guru profesional. Oleh karena itu, pemerintah berupaya melakukan tambahan kuota untuk mencipta guru profesional, salah satunya --meski masih sebatas wacana-- adalah dengan membuka program PPG Reguler (tanpa harus melalui tahap SM-3T?).

Sosialisasi SM-3T

Dengan demikian, revisi program SM-3T PPG adalah keniscayaan demi pemenuhan kebutuhan guru profesional. Bentuk revisi regulasi yang nantinya dicanangkan seyogianya tidak boleh lagi menihilkan sosialisasi. Sebagaimana yang telah lalu, kurangnya sosialisasi program SM- 3T sempat berdampak pada penolakan peserta SM-3T oleh masyarakat setempat. Kehadiran SM- 3T dianggap mempersempit lapangan kerja bagi masyarakat setempat.

Bahkan penerjunan SM-3T juga sempat direspons secara sinis dan apatis. Masyarakat setempat mempersepsikan SM-3T sebagai wujud ketidakpercayaan pemerintah terhadap tenaga pendidik lokal. Ironis, memang, SM-3T yang pada hakikatnya bertujuan untuk merajut tenun kebangsaan -- jika tidak didahului dengan sosialisasi yang masif-- malah berbalik menjadi bumerang.

Muatan PPG hendaknya juga turut dikaji ulang. Selama ini, peserta PPG beranggapan bahwa muatan dalam PPG -- yang berisikan perangkat pembelajaran, penelitian tindakan kelas, materi ajar, dan praktik pengalaman lapangan (PPL)-- telah dipelajari ketika studi S1. Dengan demikian, PPG dianggap hanya pengulangan materi. Praktis ‘hanya’ kehidupan berasrama yang dianggap sebagai suatu hal yang baru. Ketika asas efisiensi dan efektivitas merupakan fundamen muatan PPG selaiknya diperkaya. Agar peserta tidak merasa melakukan kegiatan formalitas demi perburuan lisensi mengajar semata.

(Ardian Nur Rizki. SM-3T Angkatan V penempatan Kabupaten Alor, kini sedang menempuh PPG di UNY. Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Jumat 5 Mei 2017)

Sumber: http://krjogja.com/web/news/read/31992/Mengkaji_Revisi_SM_3T_dan_PPG

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungannya di Blog Pak Pandani | Belajar dan Berbagi. Jika ada pertanyaan, saran, dan komentar silahkan tuliskan pada kotak komentar dibawah ini....

Salam Pak Pandani

Lebih baru Lebih lama