GGD: Membangun dari Pinggir


Achmad Fauzi (27) dan Vera Ertiana (25) asal Solo, Jawa Tengah, hadir di tengah kerumunan warga perbatasan di Desa Padang Panjang, Kecamatan Alor Timur, Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur. 
Keduanya adalah guru di garis depan yang dikirim pemerintah untuk membangun negeri ini dari pinggir. 

Gedung Sekolah Dasar Negeri Padang Panjang itu masih beratap ilalang dengan lantai tanah basah berlumpur. Lantai itu memperlihatkan bekas­bekas tapak kaki anak­anak berusia 5­12 tahun. Memang, anak-­anak di pulau perbatasan RI­Timor Leste itu tidak mengenakan sepatu atau sandal saat ke sekolah. 

Ketika tim Kompas datang meresmikan peletakan batu pertama pembangunan dua unit gedung SD, hasil sumbangan pembaca harian Kompas melalui Yayasan Dana Kemanusiaan Kompas di Desa Padang Panjang, Kamis (30/3), kedua guru ini hadir di antara ratusan peserta. 

Mereka menuntun 43 siswa SDN Padang Panjang yang terletak sekitar 5 kilometer dari kegiatan peletakan batu pertama pembangunan gedung SD Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) di Dusun Sidomang. 

Achmad Fauzi mengatakan, pada 2011­-2012 keduanya mengikuti program Sarjana Mendidik di Daerah Terluar, Terdepan, dan Tertinggal (SM3T) di Kabupaten Ngada, Pulau Flores. Kemudian, keduanya pulang ke DI Yogyakarta mengikuti pendidikan persiapan guru selama 2013­ 2014. 

”Tahun 2015 kami ke NTT bersama 35 rekan lain. Kami ditempatkan di SDN Padang Panjang sampai hari ini. Jumlah siswa di sini, dari kelas I sampai kelas V, hanya 43 orang. Kelas VI belajar di SDN Katapisi yang berjarak sekitar 10 kilometer dari sini,” kata Fauzi didampingi Ertiana. 

Fauzi dan Ertiana sebagai guru kontrak di SDN Padang Panjang. Mereka menetap di rumah warga. Jarak dari rumah ke sekolah sekitar 7 kilometer. Setiap hari, keduanya berboncengan menggunakan sepeda motor yang dikredit akhir 2015, dan belum lunas. Setiap bulan keduanya mencicil Rp 750.000 ke bank untuk pembayaran sepeda motor merek Yahama Mio tahun 2013 senilai Rp 17,5 juta itu.

Honor pasangan suami­ istri ini masing-­masing Rp 3 juta per bulan. Honor itu dinilai cukup untuk hidup di pedalaman. Sebagian kebutuhan hidup, seperti sayur dan buah, bisa diperoleh di sekitar sekolah atau dari bantuan warga.

”Kesulitan utama adalah beras, lauk, gula, kopi, teh, minyak goreng, minyak tanah, sabun, odol, dan lainnya. Setiap dua pekan, kami harus ke Kalabahi, sekitar 70 kilometer dari sini, untuk belanja kebutuhan itu. Di sini tak ada kios atau pasar seperti di daerah lain,” kata Fauzi. 

Kondisi jalan cukup bagus, tetapi di beberapa titik terdapat lubang yang cukup mengganggu perjalanan, terutama di musim hujan. Membawa barang kebutuhan dari Kalabahi ke Desa Padang Panjang dengan sepeda motor cukup mengganggu. 

Kadang sebagian barang tercecer di jalan, bensin habis selama perjalanan, atau kehujanan. Ia punya pengalaman pahit, mendorong sepeda motor dengan muatan barang sejauh lima kilometer di jalan menanjak akibat ban pecah. Di sana tidak ada sinyal telepon seluler sehingga komunikasi ke daerah lain pun sulit.

Televisi hanya mengandalkan parabola, tetapi listrik hanya nyala pukul 18.00­pukul 06.00 Wita. Itu pun sering padam, terkadang sampai empat jam. Ruas jalan itu belum dilayani angkutan pedesaan kecuali mobil minibus travel. Satu bus umum rute Kalabahi­Maritaing, ujung timur Pulau Alor, berhadapan langsung dengan Pulau Atauro, Timor Leste. Kendaraan ini melewati Padang Panjang, tetapi selalu padat penumpang dari Kalabahi. Bus ini jarang beroperasi karena rusak. Tidak hanya itu. Untuk kebutuhan shalat

Jumat, ia harus ke Kalabahi. Di Padang Panjang belum ada masjid. Umat Muslim di daerah itu hanya Fauzi dan Ertiana. Meski demikian, tak ada niat meninggalkan tempat tugas. 

Semua ini tetap dijalani sebagai bagian dari panggilan untuk mengabdi di perbatasan atau pulau terluar. Menjadi guru adalah impian sebagian anak negeri ini, termasuk Fauzi adan Ertiana. Honor rendah Ertiana mengatakan, masih banyak yang perlu dibenahi di bidang pendidikan di daerah pedalaman. Gedung sekolah masih berupa gubuk darurat sehingga saat hujan semua ruangan basah. Anak­-anak ke sekolah tidak sarapan pagi, jarang mandi, tidak mengenakan sepatu atau seragam sekolah. Orangtua lebih sering memaksa anak membantu mereka di ladang. 

Kepedulian orangtua terhadap pendidikan anak di pedalaman rendah. ”Akan tetapi, kami tetap ada di sini untuk memberikan apa yang kami mampu. Kami sangat kasihan ketika anak­anak masuk sekolah dengan kaki telanjang dibalut lumpur sampai siang hari, pulang sekolah. Kadang lumpur itu mengering sendiri di telapak kaki sampai mata kaki kalau.

Sumber: Kompas · 2 May 2017 · Oleh KORNELIS KEWA AMA

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungannya di Blog Pak Pandani | Belajar dan Berbagi. Jika ada pertanyaan, saran, dan komentar silahkan tuliskan pada kotak komentar dibawah ini....

Salam Pak Pandani

Lebih baru Lebih lama