Pendidikan menjadi ujung tombak terciptanya generasi emas. Hal tersebut yang mendorong pemerintah sejak lama mengelontorkan program wajib belajar 12 tahun di seluruh pelosok negeri ini. Tapi apakah program tersebut benar-benar menyentuh hingga pelosok-pelosok negeri yang memiliki gugusan pulau terbanyak di dunia ini? Seorang guru juga memiliki kewajiban yang sama besar dengan orangtua untuk mencerdaskan anak bangsa dengan ilmu pengetahuan dan pembentuan karakter.
Sebagai ujung tombak pendidikan, guru juga dituntut untuk bisa beradaptasi cepat akan kondisi tempat mereka memberikan pendidikan itu sendiri dengan ikhlas, meski hingga ke kawasan terpencil di pedalaman. Mungkin kerap didengar cerita tentang guru mengajar anak-anak pedalaman di tengah hutan atau di kawasan-kawasan konflik. Demikian juga dengan salah seorang alumni Unri yang rela menembus pedalaman pulau paling Timur Indonesia, Papua hanya untuk membuat anak-anak di sana bisa baca tulis dan itu pada saat ia masih berusia muda.
‘’Saya bangga berada di sana. sesampai di Wamena, sebagai guru harus bekerja maksimal untuk mewujukan generasi emas indonesia khususnya anak Jayawijaya yang memang memerlukan perhatian pemerintah. Di sana guru-guru sangat kurang. Kami merasakan langsung bagaimana teman-teman merasakan beratnya mengajar. Tingkat SMP saja ada yang belum bisa baca tulis, anehnya mereka tetap naik kelas. Itu pengalaman yang sangat bearti buat saya yang mencoba keluar dari zona nyaman,’’ cerita Reby yang merupakan alumni Pendidikan Biologi FKIP Angkatan 2009 ini.
Awal Reby mengikuti seleksi kegiatan yang dikemas dalam Sarjana Mendidik di daerah terluar, terdepan dan tertinggal (SM-3T), ia hanya coba-coba. Sebagai sarjana pendidikan, terang saja Reby terpanggil untuk mengabdikan diri mendidik anak-anak generasi penerus bangsa. Kebetulan, tahun itu ia ditempatkan bersama rekan lainnya di kawasan Jayawijaya, Papua.
Tiba di sana, yang ditemukannya adalah anak-anak buta huruf, lemah dalam berhitung apalagi menulis. Ini terjadi karena jarangnya mereka mendapatkan pengajaran serius dari guru-guru. Selain itu, fasilitas penunjang, sarana pendidikan yang mendorong murid untuk menimba ilmu juga tidak terpenuhi. Tidak salah, ketika sudah duduk di bangku menengah pertama bahkan menengah atas mereka masih ada yang canggung dalam membaca, menulis dan berhitung.
Tidak hanya itu, anak-anak ini juga tidak mengenal pahlawan-pahlawan Indonesia, bahkan presiden pertama Indonesia Ir Soekarno juga asing di telinga mereka. Parahnya, mereka hanya mengetahui Papua dan tidak ada yang mengetahui Indonesia terdiri dari banyak pulau dan banyak suku.
Selain sarana dan prasaran pendidikan masih minim, ketiadaan listrik maupun jalan dari pemerintah juga membuat mereka terkesan lambat menerima pendidikan. ‘’Itu tantangan buat saya. Kami juga merasa bagaimana mereka hidup sehari-hari. Bagaimana penduduk Indonesia masih ada yang belum menerima fasilitas secara layak dari negara yang sudah merdeka sejak lama ini. Padahal keinginan mereka untuk pengetahuan di luar cukup besar,’’ tambahnya.
Reby Oktarianda SPd (Pendidikan Biologi FKIP Unri Angkatan 2009) |
Reby bersyukur mendapatkan ilmu dan pegalaman yang berharga saat berada di tanah Papua. Selain ikut serta dalam mencerdaskan anak bangsa, Reby juga bayak belajar menghargai alam, karena alam yang akan menjadi ‘teman’ manusia akan datang.
‘’Meninggalkan zona nyaman, untuk membangun anak bangsa. Semoga saja nantinya program ini berlangsung sampai generasi ini menjadi lebih baik.
Harapan untuk pusat untuk materi prakondisi lebih diutamakan karena memang berbeda dengan praktik di lapangan. Yang jelas, semua berhak atas pendidikan. Tidak hanya di kota atau dekat pemerintahan, tapi juga seluruh anak-anak yang berada di bawah NKRI,’’ sebutnya.
Sumber: riaupos/eko (3 November 2016)
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungannya di Blog Pak Pandani | Belajar dan Berbagi. Jika ada pertanyaan, saran, dan komentar silahkan tuliskan pada kotak komentar dibawah ini....
Salam Pak Pandani