Guru Teladan dari Desa


Jauh merantau meninggalkan kampung, Darta (50) ”terdampar” di desa terpencil sebagai guru. Meski jauh dari gemerlap kota, ia merasa bahagia. Apalagi, belakangan ia berhasil meraih prestasi nasional. Sesuatu yang mungkin sulit ia peroleh jika ia mengajar di kota.

Berbekal pengalaman sebagai guru honorer, Darta bersama istrinya, Indriati, meninggalkan Lampung tahun 1994 menuju Kalimantan Timur. Di tanah rantau itu, impian mereka untuk menjadi guru dengan status pegawai negeri sipil (PNS) terwujud. 

Saat itu, guru­guru PNS berstatus suamiistri boleh memilih mengajar di sekolah yang sama jika mau mengajar di daerah terpencil. Darta dan istrinya bersedia ditempatkan di daerah terpencil di Desa Tani Baru, Kecamatan Anggana, Kutai Kartanegara, Kaltim. Untuk mencapai desa itu, kita mesti naik perahu motor selama tiga jam dari Samarinda, ibu kota Kaltim. 

Di benak Darta ketika itu, Desa Tani Baru adalah desa berbasis pertanian. Ia salah duga. Meski bernama Tani Baru, ternyata desa itu desa nelayan. Sesampai di sana, ia melongo ketika melihat bangunan sekolah tempat ia akan mengajar. 

Bangunan dari kayu yang berdiri di atas rawa itu jauh dari ideal. Lantainya lapuk, pintunya rusak, atap bocor, meja dan kursinya reyot. Bangunan itu lebih mirip kandang sapi yang tidak ada sapinya. Selain Darta dan istrinya, ada satu lagi guru yang ditempatkan di sana. Mereka akan bergabung dengan empat guru yang sudah ada untuk menangani 60 murid. Darta dan istrinya datang ke Tani Baru saat kemarau panjang. Bak­bak penampungan air hujan saat itu telah kering. Celakanya, Darta datang hanya bawa badan. 

”Di Lampung, air melimpah. Namanya juga daerah pertanian. Namun, di sini, kondisinya jauh berbeda. Ya Allah, benar­benar tidak ada air. Tak tahu harus bagaimana,” kenang Darta saat ditemui, Kamis (27/4). Matanya berkaca­kaca dan suaranya lirih menahan luapan perasaan. Darta sampai ”mengemis” air kepada warga tiap hari. Ia masih ingat, ia pernah membawa sebuah panci berisi beras dan mendatangi rumah salah satu tokoh warga. 

”Saya minta air untuk minum dan memasak untuk sekeluarga,” katanya. Tahun pertama adalah masa penuh penderitaan buat Darta sekeluarga. Listrik belum ada dan transportasi serba repot serta mahal. Biaya hidup juga mahal sehingga penghasilan Darta habis untuk kebutuhan hidup. Desa Tani Baru termasuk desa terpencil di Delta. Kota besar terdekat bukanlah Tenggarong (ibu kota Kutai Kartanegara), melainkan Samarinda. Banyak guru yang ditempatkan di sana, tetapi hanya bertahan sebentar. Namun, Darta tak ingin menyerah. 

Ia telanjur mencintai pekerjaannya sebagai guru. Ia juga tidak mau meninggalkan anak­anak didiknya. ”Di sinilah mereka perlu guru. Kalau saya menyerah dan mengajar saja di kota, siapa yang mau di sini? Tetapi, kalau saya di sini dan hanya asal mengajar, ya buat apa? Ada banyak masalah terkait pendidikan di sini. Saya harus melakukan sesuatu,” kata Darta. 

Guru Bahasa Indonesia sekaligus guru kelas ini paham, anak­anak didiknya bukan dari kalangan berada. Murid­muridnya hanya beralas sandal jepit karena orangtua mereka tidak kuat beli sepatu. Jangan ditanya tentang kelengkapan buku dan sarana, apalagi prestasi. Kesadaran orangtua akan pendidikan bahkan belum tumbuh. ”Orangtua beranggapan, ketika anaknya bisa baca dan tulis, cukuplah sekolahnya. 

Begitu lulus SD, mereka harus membantu orangtua. Apalagi yang perempuan, banyak yang dinikahkan. Bisa dibilang tak ada yang melanjutkan ke SMP. Mau keluar uang berapa untuk sekolah karena mesti naik speedboat ke SMP terdekat. Saya berpikir, harus ada SMP di sini,” ujarnya. Merintis SMP Darta mulai memperjuangkan berdirinya SMP. Murid­murid beserta orangtuanya ”dikompori”. 

Sudah tidak terhitung berapa uangnya yang keluar untuk ongkos transportasi mengurus semua keperluan. Darta dan istri tidak bisa menikmati gaji pada tahun­tahun pertama. Namun, kerja keras mereka berbuah hasil. Tahun 1997, dibukalah SMP Terbuka. Jika sebelumnya Darta meminta air dari pintu ke pintu, kali ini ia mengompori warga agar anak­anak mereka melanjutkan pendidikan ke SMP Terbuka yang ia rintis. 

”Kalau ujian, atau bimbingan ke sekolah (SMP) induk, saya bawa anakanak naik kapal. Menginap semingguan. Suatu kali pernah saya shock karena saat pulang, cuaca sangat buruk. Kapal terempas gelombang besar, hampir terbalik. Sementara itu, saya bawa anak satu kelas,” kata Darta. Konsekuensi ketika ada SMP harus ada kepalanya yang tidak bisa disambi Darta. Ternyata tak ada yang mau menduduki posisi sebagai kepala sekolah di lokasi terpencil dengan biaya hidup tinggi. 

Pemerintah daerah lalu meminta istri Darta, Indri, menjabat sebagai kepala SMP itu. Pada 2002, giliran Darta yang menjadi kepala di SMP itu. Sepuluh tahun kemudian, SMP Terbuka itu menjadi SMP Negeri 4 Anggana. Lokasinya sama, di SD tersebut. Pada saat itu, kebutuhan untuk mendirikan SMA di desa itu muncul. Maka, sejak Juli 2016, dibukalah SMA filial (kelas jauh) dengan 35 murid, untuk jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). 

Awal yang bagus untuk perjalanan berikutnya. Setelah itu, Darta ingin ada anak didiknya yang tembus bangku kuliah. Sosok yang tampil sederhana, ramah, dan banyak senyum ini ternyata juga keras. Kengototannya soal pendidikan sempat ditentang sebagian warga, khususnya orangtua murid. ”Saya bilang hasil (pendidikan) ini 10­ 15 tahun baru bisa dilihat. Bukan sekarang,” katanya. Darta, dulu, sering diuceki warga. 

Bahkan, ada warga yang emosi sampai hendak membakar rumahnya. Ada pula yang datang mengancam sembari membawa parang. Untunglah, perlahan para orangtua sadar bahwa apa yang dilakukan Darta memang penting dan mendesak. ”Orang yang bawa parang itu sekarang jadi pendukung, ha­ha­ha,” ujarnya. Atas kerja kerasnya, Darta meraih penghargaan sebagai Kepala Sekolah Berdedikasi Daerah Khusus tingkat nasional tahun 2008, yang diserahkan langsung oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. 

Darta terpilih dari seleksi tingkat kecamatan, kabupaten, hingga provinsi. ”Saya diminta menceritakan kondisi sekolah, guru, masyarakat, dan apa yang seharusnya di sini agar pendidikan maju,” katanya. Semangat Darta menular ke guru­guru lainnya. Dua adik istrinya, bersama suami/istri masing­masing, mengikuti jejaknya mengajar di Desa Tani Baru. ”Mas Darta memberi inspirasi. Beginilah seharusnya dedikasi seorang guru. Kami lebih dibutuhkan di daerah terpencil,” kata M Yamin, adik iparnya. 

Tahun 2000, sebuah perusahaan migas mulai memberi bantuan untuk memperbaiki bangunan sekolah. Secara bertahap, SD Negeri 014 Anggana mulai memiliki sarana dan prasarana cukup memadai. Bangunan yang dulu lebih mirip kandang sapi itu kini cukup kokoh dan asri. 

Senyum Darta semakin lebar karena perlahan anak­anak asuhnya mulai diperhitungkan di kabupaten dan provinsi. Ada siswanya yang pernah mengikuti lomba skala nasional. Tahun 2016, SD ini merebut Adiwiyata tingkat kabupaten dan tahun ini dinominasikan untuk Adiwiyata tingkat provinsi.

Sumber: Kompas · 8 May 2017 

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungannya di Blog Pak Pandani | Belajar dan Berbagi. Jika ada pertanyaan, saran, dan komentar silahkan tuliskan pada kotak komentar dibawah ini....

Salam Pak Pandani

Lebih baru Lebih lama