Supriyadi bukan sembarang penjaga sekolah. Setiap pagi, ia menyiapkan seluruh kebutuhan sekolah, termasuk membersihkan kebun dan halaman. Pekerjaan itu pun harus dilakukannya dengan cepat, sebelum para murid dan guru datang.
Bukan demi pujian, tapi pria 25 tahun itu harus segera berganti peran. “Saya mengajar juga di sekolah. Ya tukang kebun, ya, guru,” tuturnya bangga kepada Radar Bogor (Jawa Pos Group).
Sudah lima tahun pria supel ini mengabdi di Kelas Jauh SDN Gobang 04, Kampung Kukuk Sumpung, Desa Gobang, Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor. Saat ini, Supriyadi memiliki 120 anak didik. Meski berstatus honorer, dia tetap harus mengajar untuk murid kelas 1 sampai 6 SD.
Saat itu, sekitar pukul 10.00 WIB, di awal pekan, pria tamatan SMK ini tampak sibuk mengatur siswa yang harus bergantian ruang kelas. Murid kelas 1, 2, dan 3 mesti segera pulang. Sementara kelas 4, 5, dan 6, menanti sembari bermain di kebun belakang.
“Geura uwih, ulah ulin heula (segera pulang, jangan main dulu, red),” ucap Supriyadi kepada siswanya.
Mengenakan seragam PNS, Supriyadi tampak gagah di hadapan anak didiknya. Tapi pagi sebelum mengajar, kata dia, kaos lusuh dan celana robek yang menjadi pakaian dinas.
“Saya bergantian mengajarnya. Satu jam setengah di kelas empat dan lima. Setelah itu baru mengajar kelas enam. Maklum ruangannya terbatas,” tutur pemuda asli Kampung Kukuk Sumpung itu.
Di sekolahnya hanya ada dua ruang kelas. Supriyadi dan guru lainnya hilir mudik bergantian mengajar. Mata pelajaran kelas empat dan lima pun terpaksa disamakan. Sedangkan kelas enam harus sabar menunggu di ruang bersebelahan.
Di sela-sela mengajar, Supriyadi bercerita bahwa sejak 2009 lalu, ia diamanatkan menjadi penjaga SDN Gobang. Kelas jauh yang baru tumbuh itu butuh perawatan. Setiap pagi, ia harus membersikan lantai dari tanah liat bekas sepatu dan hujan.
“Ada dua guru lain yang ditugaskan di kelas jauh ini. Tapi kalau musim hujan seperti sekarang, saya sendiri,” akunya.
Bukan tanpa alasan, kendala para guru adalah akses jalan yang buruk menuju lokasi sekolah. Akses yang ada hanya jalan setapak berbatu dan curam.
Meski ada yang sudah terbuat dari semen, namun hanya sebagian dan kondisinya hancur. Kondisi itulah yang membuat dua guru honorer perempuan itu lebih memilih tak datang di saat hujan. “Kami mendapat gaji Rp 500 ribu per bulan,” ungkapnya.
Saat ini, kata dia, belum ada solusi para guru mengatasi bahaya tersebut. Jarak sekolah ini sekitar delapan kilometer dari kantor Desa Gobang, Kecamatan Rumpin.
Dia mengaku sedih dengan bangunan sekolah yang mulai usang. Selain tak memiliki jendela, lantai pun hanya beralas tanah. Begitu juga dengan kondisi meja serta kursinya. Itu diperparah dengan tidak dukungan dari warga sekitar untuk menjaga bangunan sekolah.
“Kaca-kaca jendela pecah dan salah satu pintu kelas lepas. Karena banyak warga dusun yang main bola di sini. Saya sudah kasih tau warga, tapi sulit,” lirihnya.
Sejatinya kondisi ini tak hanya dialami siswa kelas jauh di Kampung Kukuk Sumpung, Desa Gobang, Kecamatan Rumpin, ada sejumlah kelas jauh yang nasibnya tak berbeda jauh. Misalnya kelas jauh SDN Kadusewu di Kampung Cijantur, Desa Rabak.
Disana hanya membuka kelas I hingga kelas III SD, jumlah siswa mencapai 231 orang. Jaraknya sekitar tiga kilometer dari Kampung Kukuk Sumpung.
Sekolah ini juga juga kekurangan prasarana dan guru. Akses jalan yang buruk menyebabkan guru di sekolahnya enggan mengajar. Sebagai guru sekaligus penjaga sekolah di pelosok. Dia tidak berharap yang muluk-muluk. Dia hanya menginginkan akses jalan kelas jauh bisa diperbaiki.
Bukan demi pujian, tapi pria 25 tahun itu harus segera berganti peran. “Saya mengajar juga di sekolah. Ya tukang kebun, ya, guru,” tuturnya bangga kepada Radar Bogor (Jawa Pos Group).
Sudah lima tahun pria supel ini mengabdi di Kelas Jauh SDN Gobang 04, Kampung Kukuk Sumpung, Desa Gobang, Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor. Saat ini, Supriyadi memiliki 120 anak didik. Meski berstatus honorer, dia tetap harus mengajar untuk murid kelas 1 sampai 6 SD.
Saat itu, sekitar pukul 10.00 WIB, di awal pekan, pria tamatan SMK ini tampak sibuk mengatur siswa yang harus bergantian ruang kelas. Murid kelas 1, 2, dan 3 mesti segera pulang. Sementara kelas 4, 5, dan 6, menanti sembari bermain di kebun belakang.
“Geura uwih, ulah ulin heula (segera pulang, jangan main dulu, red),” ucap Supriyadi kepada siswanya.
Mengenakan seragam PNS, Supriyadi tampak gagah di hadapan anak didiknya. Tapi pagi sebelum mengajar, kata dia, kaos lusuh dan celana robek yang menjadi pakaian dinas.
“Saya bergantian mengajarnya. Satu jam setengah di kelas empat dan lima. Setelah itu baru mengajar kelas enam. Maklum ruangannya terbatas,” tutur pemuda asli Kampung Kukuk Sumpung itu.
Di sekolahnya hanya ada dua ruang kelas. Supriyadi dan guru lainnya hilir mudik bergantian mengajar. Mata pelajaran kelas empat dan lima pun terpaksa disamakan. Sedangkan kelas enam harus sabar menunggu di ruang bersebelahan.
Di sela-sela mengajar, Supriyadi bercerita bahwa sejak 2009 lalu, ia diamanatkan menjadi penjaga SDN Gobang. Kelas jauh yang baru tumbuh itu butuh perawatan. Setiap pagi, ia harus membersikan lantai dari tanah liat bekas sepatu dan hujan.
“Ada dua guru lain yang ditugaskan di kelas jauh ini. Tapi kalau musim hujan seperti sekarang, saya sendiri,” akunya.
Bukan tanpa alasan, kendala para guru adalah akses jalan yang buruk menuju lokasi sekolah. Akses yang ada hanya jalan setapak berbatu dan curam.
Meski ada yang sudah terbuat dari semen, namun hanya sebagian dan kondisinya hancur. Kondisi itulah yang membuat dua guru honorer perempuan itu lebih memilih tak datang di saat hujan. “Kami mendapat gaji Rp 500 ribu per bulan,” ungkapnya.
Saat ini, kata dia, belum ada solusi para guru mengatasi bahaya tersebut. Jarak sekolah ini sekitar delapan kilometer dari kantor Desa Gobang, Kecamatan Rumpin.
“Kaca-kaca jendela pecah dan salah satu pintu kelas lepas. Karena banyak warga dusun yang main bola di sini. Saya sudah kasih tau warga, tapi sulit,” lirihnya.
Sejatinya kondisi ini tak hanya dialami siswa kelas jauh di Kampung Kukuk Sumpung, Desa Gobang, Kecamatan Rumpin, ada sejumlah kelas jauh yang nasibnya tak berbeda jauh. Misalnya kelas jauh SDN Kadusewu di Kampung Cijantur, Desa Rabak.
Disana hanya membuka kelas I hingga kelas III SD, jumlah siswa mencapai 231 orang. Jaraknya sekitar tiga kilometer dari Kampung Kukuk Sumpung.
Sekolah ini juga juga kekurangan prasarana dan guru. Akses jalan yang buruk menyebabkan guru di sekolahnya enggan mengajar. Sebagai guru sekaligus penjaga sekolah di pelosok. Dia tidak berharap yang muluk-muluk. Dia hanya menginginkan akses jalan kelas jauh bisa diperbaiki.
*rp1/yuz/JPG/Jawapos
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungannya di Blog Pak Pandani | Belajar dan Berbagi. Jika ada pertanyaan, saran, dan komentar silahkan tuliskan pada kotak komentar dibawah ini....
Salam Pak Pandani