JAKARTA – Pemerintah segera mengirimkan 6.296 guru garis depan (GGD) ke 93 kabupaten di wilayah perbatasan dan pulau terluar Indonesia. Dengan status sebagai pegawai negeri sipil (PNS), para guru diharapkan tidak menjadikan program GGD sebagai batu loncatan untuk pindah tugas di kawasan perkotaan.
”Pemerintah sangat berharap agar guru yang sudah ditempatkan di daerah-daerah perbatasan dan pulau terluar itu tidak kembali pindah ke kota karena di sana memang terjadi kekosongan tenaga pengajar,” ujar Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Sumarna Surapranata seusai Proses Verifikasi dan Validasi GGD di Jakarta kemarin.
Dia mengatakan, pemerintah pusat sendiri tidak bisa mengintervensi karena GGD ini sudah menjadi pegawai PNS daerah. Sebab itu, pemerintah daerah bisa membuat kontrak kerja agar guru tersebut tidak berpindah tempat. ”Pemerintah daerah yang mengizinkan guru itu bisa pindah atau tidak. Kami berharap ada kontrak kerja agar GGD ini bisa betah di tempat yang sudah dipilih,” katanya.
Menurut Pranata, para GGD akan mulai bertugas per 1 Januari 2017. Berdasarkan informasi dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, dari seleksi tahun ini ada 6.296 GGD yang dinyatakan lulus. ”Sekarang sedang proses pemberkasan. Pada 1 Januari mereka akan langsung dikirim ke 93 kabupaten di seluruh Indonesia,” katanya. Pranata menerangkan, penentuan formasi GGD dimulai dari potret perencanaan kebutuhan pegawai negeri.
Lalu, potret tersebut disampaikan ke daerah sehingga daerah bisa menyusun kebutuhan riil guru yang dibutuhkan. Kebutuhan tersebut lalu disampaikan ke menpan agar bisa dianalisis dengan kebutuhan fiskal. Pranata menyebut, kuota GGD naik enam kali lipat dari tahun lalu. Pada 2015 hanya ada 798 GGD untuk ditempatkan di 28 kabupaten. Menurut dia, pemerintah tidak bisa begitu saja mengangkat guru PNS karena ada faktor belanja pegawai.
Kebutuhan akan guru di kawasan 3T memang sangat mendesak. Direktur Yayasan Pendidikan Harapan Papua (YPHP) Hannah Achmadi mengatakan, di beberapa desa terpencil di Papua hanya ada satu sekolah negeri. Sebanyak 90% guru-gurunya hanya datang 1-2 bulan sekali dalam setahun untuk mengelola ujian nasional. Kebanyakan guru menyediakan lembar jawaban bagi siswa yang ingin memperoleh sertifikat kelulusan.
Dampak dari kondisi ini, katanya, banyak siswa yang lulus dari sekolah, tetapi tidak benar-benar memiliki pengetahuan. Hannah menjelaskan, sejak 2013 pihaknya telah membuka tiga sekolah di tiga kawasan terpencil Papua yakni Mamit, Daboto, dan Karubaga. Dia mengungkapkan, masyarakat di daerah tersebut sebelumnya tidak mengenal bahasa Indonesia, angka, bahkan juga buta warna. Hannah mengungkap, masih banyak daerah yang membutuhkan sekolah dan guru agar warga Papua bisa mengenal peradaban dunia.
”Bersama dengan Amadeus Symphony Orchestra, kami menggelar konser amal untuk pendidikan anak di pedalaman Papua. Seluruh dana yang kami dapatakankamisumbangkansepenuhnya untuk membangun sekolah di Papua,” katanya. Menurut Hannah, tahun depan pihaknya berencana membuka dua sekolah baru di Karupun dan Nalca yang berada di sebelah barat Wamena dengan kondisi geografis belum tercantumdipetaIndonesiahinggakini.
Untuk membangun satu sekolah di kawasan terpencil Papua, biayanya supermahal karena bahan baku harus diangkut dengan pesawat. Untuk membangun satu kelas di pedalaman Papua, katanya, dibutuhkan dana Rp200 juta. Wakil Bupati Bima Dahlan M Noer menjelaskan, di Bima masih banyak daerah terpencil yang membutuhkan sekolah. Keberadaan program Indonesia Mengajar, katanya, sangatmembantu warga pedalaman yang dulu buta huruf kini sudah bisa membaca dan menulis.
Pemerintahannya pun melakukan langkah yang sama dengan program Bima Mengajar agar semakin banyak masyarakat yang bersekolah. ”Sementara untuk GGD kami ingin sekali mereka betah dan tidak pindah ke kota. Khusus bagi mereka ada tunjangan khusus daerah Rp20.000 per hari yang diberi selain gaji, tunjangan profesi, dan tunjangan lain yang diberikanpemerintah,” ungkapnya.
*koran-sindo/neneng zubaidah
”Pemerintah sangat berharap agar guru yang sudah ditempatkan di daerah-daerah perbatasan dan pulau terluar itu tidak kembali pindah ke kota karena di sana memang terjadi kekosongan tenaga pengajar,” ujar Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Sumarna Surapranata seusai Proses Verifikasi dan Validasi GGD di Jakarta kemarin.
Dia mengatakan, pemerintah pusat sendiri tidak bisa mengintervensi karena GGD ini sudah menjadi pegawai PNS daerah. Sebab itu, pemerintah daerah bisa membuat kontrak kerja agar guru tersebut tidak berpindah tempat. ”Pemerintah daerah yang mengizinkan guru itu bisa pindah atau tidak. Kami berharap ada kontrak kerja agar GGD ini bisa betah di tempat yang sudah dipilih,” katanya.
Menurut Pranata, para GGD akan mulai bertugas per 1 Januari 2017. Berdasarkan informasi dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, dari seleksi tahun ini ada 6.296 GGD yang dinyatakan lulus. ”Sekarang sedang proses pemberkasan. Pada 1 Januari mereka akan langsung dikirim ke 93 kabupaten di seluruh Indonesia,” katanya. Pranata menerangkan, penentuan formasi GGD dimulai dari potret perencanaan kebutuhan pegawai negeri.
Lalu, potret tersebut disampaikan ke daerah sehingga daerah bisa menyusun kebutuhan riil guru yang dibutuhkan. Kebutuhan tersebut lalu disampaikan ke menpan agar bisa dianalisis dengan kebutuhan fiskal. Pranata menyebut, kuota GGD naik enam kali lipat dari tahun lalu. Pada 2015 hanya ada 798 GGD untuk ditempatkan di 28 kabupaten. Menurut dia, pemerintah tidak bisa begitu saja mengangkat guru PNS karena ada faktor belanja pegawai.
Kebutuhan akan guru di kawasan 3T memang sangat mendesak. Direktur Yayasan Pendidikan Harapan Papua (YPHP) Hannah Achmadi mengatakan, di beberapa desa terpencil di Papua hanya ada satu sekolah negeri. Sebanyak 90% guru-gurunya hanya datang 1-2 bulan sekali dalam setahun untuk mengelola ujian nasional. Kebanyakan guru menyediakan lembar jawaban bagi siswa yang ingin memperoleh sertifikat kelulusan.
Dampak dari kondisi ini, katanya, banyak siswa yang lulus dari sekolah, tetapi tidak benar-benar memiliki pengetahuan. Hannah menjelaskan, sejak 2013 pihaknya telah membuka tiga sekolah di tiga kawasan terpencil Papua yakni Mamit, Daboto, dan Karubaga. Dia mengungkapkan, masyarakat di daerah tersebut sebelumnya tidak mengenal bahasa Indonesia, angka, bahkan juga buta warna. Hannah mengungkap, masih banyak daerah yang membutuhkan sekolah dan guru agar warga Papua bisa mengenal peradaban dunia.
Untuk membangun satu sekolah di kawasan terpencil Papua, biayanya supermahal karena bahan baku harus diangkut dengan pesawat. Untuk membangun satu kelas di pedalaman Papua, katanya, dibutuhkan dana Rp200 juta. Wakil Bupati Bima Dahlan M Noer menjelaskan, di Bima masih banyak daerah terpencil yang membutuhkan sekolah. Keberadaan program Indonesia Mengajar, katanya, sangatmembantu warga pedalaman yang dulu buta huruf kini sudah bisa membaca dan menulis.
Pemerintahannya pun melakukan langkah yang sama dengan program Bima Mengajar agar semakin banyak masyarakat yang bersekolah. ”Sementara untuk GGD kami ingin sekali mereka betah dan tidak pindah ke kota. Khusus bagi mereka ada tunjangan khusus daerah Rp20.000 per hari yang diberi selain gaji, tunjangan profesi, dan tunjangan lain yang diberikanpemerintah,” ungkapnya.
*koran-sindo/neneng zubaidah
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungannya di Blog Pak Pandani | Belajar dan Berbagi. Jika ada pertanyaan, saran, dan komentar silahkan tuliskan pada kotak komentar dibawah ini....
Salam Pak Pandani