BERMAIN: Zully Hijah Yanti AD bersama siswa SMP Negeri (SMPN) 4 Satu Atap Kecamatan Salatiga, Kalimantan Barat bermain usai pulang sekolah. Dok Pribadi FOR RAKYAT ACEH |
Murti Ali Lingga-Banda Aceh
Kisahnya bermula saat dia mengikuti seleksi Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal (SM3T) tahun lalu.
"Diajak sama kawan dan dibagi info tentang SM3T. Setelah cari tahu dan dipelajari, akhirnya daftar," kata Zully pada Rakyat Aceh (Jawa Pos Group), beberapa waktu lalu.
Dia lolos ikut program yang dicetuskan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia tersebut.
"Waktu tes wawancara, seleksi SM3T, ketika ditanya apa motivasi mengikuti SM3T, aku selalu menjawab karena cerita Laskar Pelangi. Pengaruhnya besar banget. 70 persenlah," imbuhnya.
Zully mengaku perjuangan para guru dalam Laskar Pelangi telah merasukinya. Ia percaya, setiap cita-cita akan akan terwujud bila terus berusaha tanpa putus asa.
"Orang-orang di daerah terdepan, terluar dan tertingal (3T) juga pantas mendapatakan pendidikan yang layak," terangnya semangat.
Perempuan kelahiran Rimo, Gunung Meriah, Aceh Singkil, 12 Mei 1994 ini mengatakan, dirinya sudah sejak lama memiliki keinginan untuk mengajar di daerah terpencil.
Menurut Zully, mengabdi di pelosok negeri nun jauh dari perkotaan bisa menumbuhkan sikap saling menghargai dan nilai kekeluargaan.
Menurutnya, hal itu sudah mulai luntur dan mulai tergerus di dunia pendidikan yang disebabkan oleh perkembangan zaman, khususnya sekolah di kota.
Di tempat bertugas itu, dia bisa langsung melihat kondisi pendidikan yang jauh tertinggal.
"Siswa-siswa di kota saat ini kurang menghargi guru. Jadi aku ingin ke tempat yang rasa kekeluargaannya masih kental," tuturnya.
Baginya, pendidikan sangatlah penting bagi setiap orang untuk mengubah nasib dan meraih cita-cita.
Pendidikan bukan hanya untuk orang di kota tapi juga orang di pelosok-pelosok. Oleh karenanya, setiap anak bangsa tentu harus merasakan dan mendapatkan pendidikan di bangku sekolah. Kerena dengan memperoleh ilmu pengetahuan akan mengubah nasib seseorang.
"Pendidikan sangat penting. Karena untuk meraih cita-cita, kita harus memiliki ilmu. Untuk menjadi apapun kita harus memiliki pengetahuan. Kalau kita tidak memiliki pengetahuan, bagaimana kita akan hidup?" ujarnya.
Para peserta yang mengikuti program SM3T mengabdi setahun penuh di lokasi yang telah ditentukan. Demikian juga Zully.
Ia mengabdi dan mengajar di SMP Negeri (SMPN) 4 Satu Atap di Desa Sungai Tomab, Kecamatan Salatiga, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat.
Kedua orang tua Zully mengantar langsung dirinya hingga bandara internasional Sultan Iskandar Muda, Blang Bintang, Aceh Besar. Sebelum meninggalkan Bumi Serambi Mekah, ibunya sempat berpesan agar ia selalu menjaga diri.
"Pulanglah dengan kondisi sama seperti kau berangkat," kenangnya.
Pesan sang ibu tetap ia ingat dan pegang teguh. Ketika berpisah dengan keluarganya ia merasa sangat sedih.
Saat itu kedua orang tuanya menitikkan air mata, namun tidak dengan Zully. Menurutnya menangis saat berpisah dengan keluarganya pantang atau pamali.
"Sedih jelas. Waktu aku pergi, mamak menangis. Tapi aku nggak menangis sama sekali. Pantang," katanya.
Ia bercerita, sepekan tiba di Sambas, Kalbar, rasa sedih menghantuinya. Bahkan ia merasasangat jauh dari keluarga dan tempat kelahiran. Dalam sepekan itu, ia merasa kesulitan untuk beradaptasi dengan lingkungan tempat tinggalnya.
"Seminggu pertama rasanya pengin nangis. Rasanya badan nggak terima," tutur anak dari pasangan H. Adrian dan Hj. Sutiana itu.
Tantangan lain yang harus ia hadapi adalah cuaca yang ekstrim dan menu makan. Selera makannya terus menurun karena menu makanan yang ada tak pas di lidahnya. Cuaca yang panas membuat penyakit yang ia idap kambuh.
"Penyakit sinusitisku kumat setelah satu tahun terakhir. Hidung berdarah, karena di sini cuaca panas. Meriang saja bawaannya dan nggak selera makan. Makanya pengin nangis," pungkasnya tertawa.
Bicara urusan cuci dan kakus, perihal yang satu ini lebih parah lagi. Saban hari ia harus mandi dengan air berwarna hitam, hampir serupa dengan bahan bakar minyak solar.
Warga di sana, mau tidak mau harus mengandalkan air sungai untuk kebutuhan itu. Sekelumit kesusahan dan keterbatasan itu ia hadapi dengan tegar dan tetap berusaha untuk menyatu dengan keadaan yang ada.
"Mandi aja pake air hitam. Air sungainya hitam. Cara mengatasinya, mau nggak mau harus mengikuti gimana budaya di sini. Harus membiasakan diri, menyukai makanan dan harus meng-enjoy-kan diri. Lama-lama terbiasa sih," akunya.
Di SMP Negeri (SMPN) 4 Satu Atap, Zully dipercayakan memberikan mata pelajaran Bahasa Indonesia pada siswa di beberapa kelas. Total jumlah siswa hanya 71 orang, terdiri dari laki-laki dan perempuan.
"Aku mengajar mata pelajaran Bahasa Indonesia di kelas tujuh, delapan, sembilan. Mengajar penuh selama lima hari sih. Satu hari aja kosong. Guru PNS tiga orang (Kepsek, Wakepsek dan Bendahara), sisanya enam orang guru honor," sebutnya.
Zully menjelaskan, selain mengajar, ia juga mengamati keadannya masyarakat, pembangunan, tradisi dan kebiasaan warga di sana.
Namun ia lebih fokus mengamati dan memperhatikan pendidikan. Ia sangat perihatian melihat keberlangsungan pendidikan anak-anak di sana, khususnya di Desa Sungai Tomab.
Karena banyak anak-anak berusia 18 tahun masih duduk di bangku SPM dan banyak dari mereka setelah tamat SMP langsung merantau ke negeri Jiran, Malaysia untuk bekerja.
"Sedih di sini. (Anak-anak) tamat SMP pada kerja ke Malaysia," ungkap alumnus Program Studi FKIP Bahasa Indonesia Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) ini.
"Padahal pendidikan penting banget. Mau nangis kalau dengar siswa yang nggak mau lanjut sekolah."
Menurutnya, kendala serta tantangan yang dihadapi untuk membangun pendidikan yang baik di sana murni karena bantuan dan perhatian pemerintah yang minim.
Sehingga sekolah-sekolah dan pendidikan di daerah terus tertiggal. Imbasnya akan manambah jumlah buta huruf di Indonesia.
Sekolah di sana hanya mengandalkan bantuan Biaya Operasional sekolah (BOS) untuk membangun infrastruktur semampunya.
"Di sini yang diandalkan cuma dana BOS itu. Jadi, mau membangun sekolah yang layak nggak bisa," ujarnya.
Beragam keterbatasan saran pendukung di sana membuat Zully tetap semangat dan tak patah arang untuk mengabdi dan memberikan pendidikan.
Meski kerap kali situasi itu membuatnya harus kerepotan dan harus berkerja keras. Ia mengakui, rasa kekeluargaan yang dapatkan di sana menjadi obat yang mujarab yang terus membangkitkan semangatnya.
Bahkan ia merasa seakan sudah kembali ke kampung halamannya sendiri dan sudah menemuakan keluarganya kembali.
"Di sini warganya (baik), subhanallah. Sampai sekarang belum pernah beli beras. Rasa-rasanya satu kampung pada ngasih beras. Banyak keluarga angkat di sini. Sekarang ngerasa kalau di sini malah lebih enak ketimbang kampung sendri," katanya berkelakar.
Sumber: http://www.jpnn.com/news/waktu-aku-pergi-mamak-menangis
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungannya di Blog Pak Pandani | Belajar dan Berbagi. Jika ada pertanyaan, saran, dan komentar silahkan tuliskan pada kotak komentar dibawah ini....
Salam Pak Pandani