Sesuai dengan jurusan yang diambilnya yakni Pendidikan Guru Sekolah Dasar di Universitas Negeri Semarang (Unnes), Elen memilih untuk mencoba pengalaman kerja di daerah pelosok. Ia mencoba ikut program pemerintah Sarjana Mengajar di daerah Tertinggal, Terluar, dan Terdepan (SM3T). Tak tanggung-tanggung, Elen diminta menjadi guru di Sumba Barat Daya, NTT.
Hijabers asal Cilacap, Jawa Tengah, itu pun setuju setelah minta restu kepada orangtua. Ia mencoba menjalani program tersebut selama satu tahun sejak September 2016. Suka-duka dijalaninya selama mengabdi sebagai guru SD. Salah satunya ketika Elen mengajar di salah satu sekolah yang jaraknya sangat jauh dari perkampungan di Sumba Barat Daya. Ia bahkan harus jalan kaki total empat jam untuk berangkat-pulang ke sekolah karena memang sangat jauh dari wilayah perkampungannya.
"Waktu bulan September kemarin saya sudah di Sumba. Saya pikir saya masih muda belum menikah juga, cari pengalaman dulu mumpung direstui orangtua. Nggak semua orangtua mengizinkan anaknya kerja di luar Jawa. Dan ternyata pengalaman di sini suka dan dukanya banyak. Awalnya saya mengajar di sekolah yang akses ke SD itu jauh sekali. Saya jalan kaki naik-turun bukit sekitar satu setengah sampai dua jam ke sekolah, pulangnya juga sama. Kalau naik motor bisa sebenarnya tapi risiko masuk ke jurang. SD itu jauh banget dari perkampungan," cerita Elen saat dihubungi Wolipop melalui telepon, Selasa (2/5/2017).
Elen mengatakan di Sumba Barat Daya masih kekurangan air. Setiap hari ia harus pergi menimba air dua kali sehari demi bisa makan dan mandi. Tidak hanya itu, mayoritas penduduk yang nasrani membuat Elen merasa sedikit kesulitan untuk beribadah. Bahkan dalam satu lingkup kabupaten saja hanya ada dua masjid. Belum lagi konsumsi makanan serta minuman yang harus dilihat lebih dulu apa itu halal atau tidak. Anak pertama dari tiga bersaudara ini juga menyebutkan bahwa banyak orangtua di daerah tempat mengajarnya masih kurang peduli akan pendidikan.
"Di sini banyak anjing masuk kelas berkeliaran. Kalau di Jawa sudah kayak ayam, banyak pula yang pelihara babi. Paling susah itu juga jaga makanan dan minuman karena sedikit sekali muslim di sini. Terus di sini masih terbelakang pendidikannya, kadang kelas 6 SD saja masih belum lancar baca. Itu karena peran orangtua mereka ke pendidikan kurang. Sekolah di sini gratis tapi ada iuran buat Rp 45 ribu sebulan saja mereka susah tapi giliran beli ternak bisa," ujar wanita yang menjadi mualaf sejak 2014 itu.
Meski demikian, ia mendapat banyak pelajaran dari pengalamannya selama ini mengajar di Sumba Barat Daya. Salah satunya bersyukur karena ia tinggal di Jawa yang jauh lebih maju dari tempat mengajarnya sekarang.
"Saya di sini masih sampai Agustus 2017. Saya belajar bersyukur kalau dibandingkan dengan Jawa kita nggak pantas lagi untuk mengeluh, di sini ada listrik saja lumayan, nggak kayak Jawa yang serba ada," tambahnya lagi sebelum menutup perbincangan.
Sumber: https://m.detik.com/wolipop/read/2017/05/03/160040/3490754/1632/kisah-guru-cantik-berhijab-di-sumba-jalan-4-jam-hingga-tak-ada-air
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungannya di Blog Pak Pandani | Belajar dan Berbagi. Jika ada pertanyaan, saran, dan komentar silahkan tuliskan pada kotak komentar dibawah ini....
Salam Pak Pandani