Mereka Berjuang di Garis Depan


Meninggalkan zona nyaman di Pulau Jawa, sejumlah anak muda mengabdikan diri sebagai pengajar di daerah terpencil Pulau Buru, Maluku. Kehadiran mereka memberi secercah harapan bagi anak-anak pelosok negeri untuk mengenyam pendidikan yang lebih baik. Sayang

Kondisi Kampung Waegrahe, Desa Waereman, Kecamatan Fena Leisela, Kabupaten Buru, Maluku (foto atas). Ai Rohmatika dan Siti Nurur Rohmah (depan), guru garis depan (GDD) yang bertugas di pedalaman Pulau Buru, menyusuri sungai menuju Danau Rana. Mereka harus menghadapi medan berat dan keterbatasan akses (foto kiri).

Jalanan yang mendaki membuat tas di punggung menjadi beban berat. Apalagi, hujan deras mengguyur. Untuk mengurangi beban, para guru muda itu terpaksa membuang bekal nasi yang telah basah. Setelah empat jam jatuh bangun di perjalanan, mereka akhirnya tiba di dataran tinggi Danau Rana.

Di jantung Pulau Buru, Provinsi Maluku, itulah tujuh anak muda, lima di antaranya perempuan, ditugaskan mengajar. ”Hari itu Minggu, 15 Oktober 2017. Itulah pengalaman pertama kami menuju tempat bertugas,” kata Ai Rohmatika (27), asal Pandeglang, Banten, menceritakan pengalamannya sebagai guru garis depan (GGD) di Sekolah Dasar (SD) Desa Waegrahe, Kecamatan Fena Leisela.

Program GGD merupakan kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk mengirim guru-guru muda ke sejumlah daerah yang membutuhkan. ”Dulu padahal memilih penempatan di Pandeglang, tetapi ternyata dilempar di sini,” ujar Ai.

Sekalipun sudah menyiapkan mental untuk menghadapi kondisi lapangan di daerah pedalaman, kondisi di daerah penugasan lebih berat dari bayangan mereka. ”Saya menangis dalam perjalanan hari itu. Badan sakit semua. Di Jawa, kami tidak pernah jalan sejauh itu melalui hutan lebat. Rasanya tidak sampaisampai," kata Wiwin Damayanti (29), asal Banyuwangi, Jawa Timur, yang bertugas sebagai guru SD di Desa Waereman, Kecamatan Fena Leisela.

Waereman dan Waegrahe dihuni masyarakat adat yang masih memegang kepercayaan lokal mereka. Desa ini berada di tengah hutan dan dipercaya sebagai kampung tua yang menjadi asal-usul orang Buru. Tak ada listrik, apalagi sinyal telepon. Namun, salah satu yang paling berat tinggal di sana, menurut Ai, adalah tidak adanya toilet. ”Untuk buang hajat harus ke sungai,” kata Ai.

Dari Namlea, ibu kota Kabupaten Buru, dibutuhkan jalan darat empat jam untuk sampai ke Wamlana, pusat Kecamatan Fena Leisela. Berikutnya, perjalanan bisa dilanjutkan dengan mobil gardan ganda hingga Desa Waegrahe selama lima hingga enam jam. Sementara untuk ke Waereman masih harus menyeberangi Danau Rana dengan perahu dayung selama dua jam dari Waegrahe.

Namun, jalan dari Fena Leisela hingga Waegrahe yang berupa jalan tanah diapit tebing dan jurang sering kali terputus karena longsor, seperti yang dialami Ai dan Wiwin siang itu. Mereka mesti melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki.

Sulitnya akses yang selama ini menjadi alasan tidak ada guru yang betah bertugas di sana. ”SD di desa ini sudah ada sejak 2004, tetapi tidak ada satu pun anak kami yang bisa lanjut ke bangku kuliah,” kata Purisi (Ketua Pengadilan Adat) Waegrahe Hanis Waemese.

Sebelum kedatangan Ai Rokhmatika sebagai GGD, jumlah guru di SD Waegrahe sebenarnya ada delapan orang, termasuk kepala sekolah dan guru honor. Namun, menurut Hanis, sekolah yang mengasuh 30 murid ini lebih banyak libur karena tidak ada gurunya. Akibatnya, anak-anak ketinggalan pelajaran. ”Sampai kelas enam (SD), anak-anak kami di sini banyak yang belum bisa membaca. Bagaimana mau meneruskan sekolah lebih tinggi?” kata Hanis.

Kondisi sekolah di Desa Waereman bahkan lebih parah karena aksesnya lebih jauh. ”Guru yang dikirim ke dataran tinggi Rana biasanya tidak betah. Sehari datang, tiga bulan menghilang,” kata Kepala Desa Waereman Luas Waemese.

Pelayanan kesehatan di desadesa dataran tinggi ini juga mandek. Jangankan dokter, bidan pun tak ada. Di Waegrahe sebenarnya sudah ada bangunan puskesmas pembantu dengan konstruksi tembok, bahkan termegah di desa itu. Namun, sehari-hari, bangunan itu terkunci rapat. Rumput tinggi di halamannya menandakan sudah lama tak dirambah.

”Sejak dibangun 2014, lebih banyak nganggur-nya. Tak ada tenaga kesehatan mau ke mari. Warga desa kalau sakit harus ke kota. Itu yang punya ongkos. Kalau tidak, ya, pakai obat-obatan kampung,” kata Kawasan (Keamanan Adat) Waegrahe, Soni Waemese. ”Kalau sakit dua hari sudah tidak bangun-bangun, artinya sudah mati.”

Sepanjang ingatan Soni, baru sekali ada dokter datang ke desa mereka. Itu pun hanya sebentar dan langsung pergi lagi, tidak sempat memberikan pengobatan. ”Kami sudah berkali-kali lapor ke camat, tetapi tidak ada perubahan,” kata Soni.

Dalam pertemuan pada pertengahan Desember 2017 itu, Soni menyampaikan unek-uneknya dengan nada geram. ”Indonesia katanya sudah merdeka puluhan tahun, tetapi sampai sekarang rasanya kami masih jauh dari itu. Sepertinya tidak banyak yang berubah di sini dibandingkan cerita orangorang tua dulu di zaman penjajahan.”

Tumpuan harapan


Soni mengharapkan GGD bisa membawa perubahan. ”Ibu Ai semoga betah di sini sehingga bisa mendidik anak-anak kami. Kami ingin mereka bisa meneruskan sekolah seperti anak-anak lain di Indonesia,” ujarnya.

Ai Rokhmatika sadar betul akan harapan yang disandarkan padanya. Sekalipun hidup jauh dari orangtua dan zona nyamannya, dia mencoba mencari sisi baiknya.

”Orang-orang di sini baik. Anak-anak juga, hampir setiap hari ada yang bawa ikan atau sayur, juga membantu mencuci piring. Suasana desa juga tenang, udaranya sejuk, dan pemandangannya indah,” tuturnya.

”Oh, ya, semoga janji pemerintah daerah untuk membangunkan kami rumah dinas lengkap dengan toiletnya bisa segera direalisasikan,” kata Ai. Untuk sementara ini, Ai bersama dua GGD lainnya tinggal di salah satu rumah warga yang dipinjamkan kepada mereka. Rumah itu dari papan dan berlantai tanah. Guruguru itu tidur di dipan papan kayu.

Mereka memang guru-guru yang telah terseleksi. Dari sekitar 170 GGD yang ditempatkan di Pulau Buru pada 2017, 60 orang di antaranya telah mengundurkan diri. Selain menghadapi medan berat, para guru yang kebanyakan dikirim dari Jawa ini memang tak selamanya mendapatkan sambutan yang baik di daerah. Bahkan, sebagian daerah secara tegas menolak kedatangan guru-guru ini karena anggaran gaji para guru tersebut diambil dari dana alokasi khusus (DAK) setiap daerah.

Situasi ini juga berdampak terhadap nasib GGD di Pulau Buru. Hingga saat ini, para GGD ini belum mendapat penggantian ongkos transportasi dan transit dari Ambon hingga ke lokasi tugas. Mereka hanya mendapatkan penggantian tiket pesawat dari daerah asal di Jawa ke Ambon yang diganti langsung oleh Kemdikbud. Adapun perjalanan dari Ambon ke tempat tugas belum diganti karena dibebankan ke pemda.

Perjuangan para guru muda di Pulau Buru memang tak mudah. Namun, mereka bertekad bertahan. Demikian pula halnya Wiwin dan Siti Nurur Rohmah (29), GGD yang bertugas di SD Walsekat, Desa Limanpoli, Fena Leisela.

Perlahan, para guru muda itu mencoba berdamai dengan segala kesulitan hidup tinggal di pedalaman Pulau Buru.

Sekalipun berat, dibandingkan kesulitan hidup yang dihadapi para para perempuan dari Jawa yang dikirim Jepang ke Pulau Buru pada tahun 1942-1945, nasib para guru ini memang jauh lebih baik. Seperti ditulis Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer (2001), ratusan perempuan dari Jawa, yang kebanyakan terpelajar, telah ditelantarkan tentara Jepang di Pulau Buru. Dengan dalih akan dikirim belajar ke Tokyo, mereka kemudian dipaksa menjadi budak seks tentara Nippon.

Kompas,7 Jan 2018

Sumber: https://www.pressreader.com/indonesia/kompas/20180107/281947428240260

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungannya di Blog Pak Pandani | Belajar dan Berbagi. Jika ada pertanyaan, saran, dan komentar silahkan tuliskan pada kotak komentar dibawah ini....

Salam Pak Pandani

Lebih baru Lebih lama